Pemahaman Penegak Hukum terhadap Kasus Anak Masih Minim
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Jumlah aparat penegak hukum yang mengerti tentang penanganan kasus anak di Indonesia masih minim. Diperlukan pelatihan bagi aparat penegak hukum, termasuk pemangku kepentingan, agar penanganan kasus tepat.
Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Suhardi, dalam diskusi publik ”Penguatan Koordinasi Antarlembaga Penegak Hukum” yang digelar Kedutaan Besar Denmark dan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) di Palembang, Selasa (17/4/2018), mengatakan, saat ini hanya ada 2.000 aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, hakim, hingga jaksa, dan pekerja sosial yang mendapatkan sertifikat terkait penanganan kasus yang melibatkan anak.
Jumlah ini masih timpang jika dibandingkan dengan perkembangan kasus yang melibatkan anak di Indonesia saat ini.
”Setidaknya, dibutuhkan sekitar 5.000 aparat penegak hukum yang memang diedukasi untuk menangani kasus anak,” ujar Suhardi.
Proses sosialisasi dan edukasi kepada aparat penegak hukum harus terus dilakukan karena penanganan perkara yang melibatkan anak tidak bisa disamakan dengan kasus pidana biasa. Misalnya, dalam pengadilan anak, hakim dan jaksa tidak boleh mengenakan pakaian seragam. Pelaku anak dan korban pun harus didampingi pembimbing kemasyarakatan dalam menjalani prosesnya.
Bahkan, pelaku anak dan korban juga tidak boleh berada di satu ruangan karena bisa saja memengaruhi kesaksian. ”Intinya, anak tidak boleh dijadikan obyek hukum. Hukuman pun tidak harus tertuju pada pemenjaraan,” ujarnya.
Saat ini, lanjut Suhardi, pihaknya bersama instansi terkait masih merancang prosedur standar operasi (SOP) penanganan kasus anak. Tujuannya, untuk meningkatkan keadilan yang restoratif melalui integrasi antarpihak.
Anggota Kelompok Kerja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung, Diah Sulastri Dewi, menuturkan, setelah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diterbitkan, jumlah anak yang masuk dalam jeruji besi berkurang signifikan. Sebelumnya, 6.700 anak masuk penjara pada 2011, saat ini jumlahnya hanya sekitar 3.000 anak.
Hal itu terjadi karena aparat penegak hukum sudah mulai memahami bagaimana memperlakukan anak dalam menjalani proses hukum, baik pelaku anak, korban anak, maupun saksi anak.
Berdasarkan Pasal 8 UU No 11/2012, penyidikan, penuntutan, dan pengadilan pada anak wajib dilakukan dengan musyawarah diversi.
”Dalam musyawarah tersebut, akan diputuskan apakah anak masuk lembaga pembinaan khusus anak atau dikembalikan kepada orangtua,” ujarnya.
Diah berharap, setelah SOP diterbitkan, ada komunikasi antarpihak terkait untuk menangani kasus anak. Pemerintah juga diharapkan berperan memformalkan forum komunikasi itu melalui surat keputusan yang dikeluarkan kepala daerah di setiap wilayah.
Project Manager Program Dukungan Reformasi Sistem Peradilan di Indonesia (SUSTAIN) UNDP Gilles Blanchi mengatakan, pihaknya akan terus mendukung upaya pemerintah untuk mereformasi sistem peradilan di Indonesia, termasuk perihal peradilan anak.
Menurut dia, dalam penanganan kasus anak, aparat penegak hukum tidak hanya fokus pada kebutuhan hakim, tetapi juga semua pihak. Diperlukan adanya perubahan pola pikir dari yang semula bertujuan menghukum menjadi peradilan yang bertujuan memulihkan hubungan antara pelaku dan korban melalui keterlibatan masyarakat.