Pesan Kemakmuran di Kain Tapis
Kain tapis adalah kain tradisional Lampung. Perubahan sosial budaya membuat nilai-nilai seperti yang ada di dalam kain tapis kini mengalami tantangan yang tidak ringan.
Puluhan perempuan menenun kain tapis di teras rumah Redawati di Desa Negeri Katon, Kabupaten Pesawaran, Lampung, sekitar 1,5 jam perjalanan dari Bandar Lampung ke arah barat. Mereka sibuk memangku papan tekang, yakni alat dari kayu yang dipakai untuk menahan kain supaya tidak kusut saat disulam.
Para perempuan yang menenun kain tapis ini tergabung dalam Koperasi Pesona Tapis Mandiri. Kelompok yang diinisiasi Redawati ini aktif membuat kain tapis sejak tahun 29015. Selain mengisi waktu luang, kegiatan ini juga untuk menggerakkan ekonomi keluarga.
”Awalnya saya hanya menerima pesanan dari orang lain untuk membuat kain tapis. Namun, saya lalu berpikir, apa yang bisa dilakukan dengan kain ini? Hampir semua ibu-ibu di sini bisa membuatnya, tetapi tak banyak pasar tersedia. Padahal, ini harta karun Lampung,” tutur Reda.
Setelah beberapa kali memasarkan ke sejumlah toko dan menerima pesanan melalui media sosial, usaha kelompok perempuan di Desa Negeri Katon itu dilirik pemerintah daerah setempat. Bantuan juga datang dari sejumlah instansi hingga perbankan. Sejumlah desainer, seperti Wignyo Rahadi dan Aan Ibrahim, juga ikut turun membina ibu-ibu tersebut.
Tapis yang semula sering digunakan untuk sarung bantal, taplak, dan kain penutup sajian kini juga ”naik tingkat” menjadi bahan pakaian adibusana. Motifnya pun berkembang, tidak hanya deretan wajik (segi empat), uni-uni (rangkaian titik dan kotak kecil-kecil), atau sasak najug (bentuk seperti stupa), dan pucuk rebung (seperti deretan ujung bambu). Namun, kini motifnya juga dikombinasikan dengan motif batik.
Perkembangan kain tapis ini turut dirasakan para ibu-ibu perajinnya di Desa Negeri Katon. Tapis hasil kreasi mereka dinamai tapis jejama (bersama-sama) karena pengerjaannya dilakukan bersama.
”Untuk satu lembar kain tapis, saya bisa menyimpan Rp 150.000. Lumayan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Anak saya perempuan juga mengajari teman-temannya yang dari Jawa (transmigran Jawa) di rumahnya untuk membuat tapis,” ujar Sa’diyah (69), perajin tapis. Pembuatan kain tapis umumnya diturunkan oleh ibu ke anak perempuannya.
Kemakmuran
Perkembangan kain tapis turut menggambarkan keterbukaan masyarakat Lampung terhadap budaya atau kelompok lain. Budayawan Lampung, Azhari Kadir (78), menyebutkan, budaya Hindu-Buddha memengaruhi motif-motif kain tapis.
Motif kapal yang menggambarkan kapal besar dengan manusia-manusia di dalamnya, misalnya, menunjukkan perjalanan leluhur atau nenek moyang ke nirwana. Manusia di dalam kapal berada pada posisi bertingkat untuk menunjukkan kedudukan mereka. Di motif itu juga ada manusia yang mengendarai gajah, yang melambangkan kebesaran orang itu. Gajah adalah lambang kebesaran diri.
Motif-motif lain seperti pucuk rebung dan sasak najug sebenarnya adalah bentuk stupa dalam kuil Hindu dan Buddha.
Seiring dengan masuknya Islam pada abad ke-14 dan ke-15, pemaknaan itu bergeser. Pada motif kapal, orang juga memaknainya sebagai bahtera Nabi Nuh, yang menyelamatkan manusia dari banjir besar.
”Namun, sejarah tapis sudah lebih dulu ada. Tapis dikenal sejak abad ke-8 karena ada prasasti di Bangka Belitung berangka tahun 893 yang menceritakan bahwa raja dari Lampung (Tulang Bawang) menghadiahkan kain tapis untuk Raja Belitung,” katanya.
Pengenaan tapis pada perempuan menggambarkan harga diri serta penghormatan kepada perempuan. Di sisi lain, praktik itu juga menunjukkan adanya strata sosial dalam budaya Lampung. Keberadaan kalangan elite ditandai dengan pemakaian kain tapis tertentu untuk kelompok perempuannya. Pemakaian sembarangan kain tapis akan menuai kecaman dan hinaan dari orang lain.
Melalui strata sosial tersebut, masyarakat Lampung menunjukkan mereka adalah orang yang makmur, sejahtera, bahkan mewah. Pengenaan siger atau mahkota dari emas di kepala perempuan serta penerapan benang-benang emas pada kain tapis menyimbolkan Lampung yang kaya raya. Pada masa lalu, semua perangkat itu benar-benar terbuat dari emas. Benang emas dibeli dari pedagang India yang singgah di Lampung.
Azhari secara peyoratif menggambarkan kekayaan Lampung itu dengan karakter manusianya yang cenderung ”malas”. Ini karena saking makmurnya, orang Lampung dalam sekali panen bisa menyimpan makanan atau padi selama lima tahun. Hal itu dimungkinkan karena luasnya tanah dan suburnya bumi yang mereka pijak. ”Sekali panen, orang Lampung lima tahun tidak bekerja. Untuk apa bekerja sebab panen sudah mencukupi,” ungkapnya.
Namun, kekayaan Lampung yang tergambar dari kain tapis itu kini agak berbeda dari kenyataan yang ada. Data Badan Pusat Statistik (BPS) sejak tahun 2010 menunjukkan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Lampung merupakan yang terendah se-Sumatera. Tahun 2016, IPM Lampung hanya 67,65 persen. Angka itu berada di bawah Bangka Belitung (69,55 persen) dan Bengkulu (69,33 persen).
Lampung pun menjadi provinsi termiskin nomor tiga di Sumatera setelah Bengkulu dan Aceh. Angka kemiskinan Lampung 13,86 persen. Adapun rata-rata tingkat lama sekolah di Lampung 7,48 tahun atau belum mencapai target minimal rata-rata sekolah nasional 9 tahun.
Kondisi saat ini tersebut menimbulkan pesan baru pada kain tapis. Di balik keindahan kain itu, terselip pesan bagi warga Lampung agar memperjuangkan diri dan wilayahnya supaya kembali sebagai kawasan yang sejahtera dan makmur, sebagaimana disimbolkan melalui kain tapis dengan benang emasnya.
Dalam kontestasi Pilkada 2018, sangat wajar apabila Lampung berharap pada lahirnya pemimpin yang bisa mewarisi nilai-nilai dalam kain tapis, yakni inovatif, kreatif, menerima perubahan, dan menghadirkan kesejahteraan bagi rakyatnya.