JAKARTA, KOMPAS – Proses revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak bisa terlalu diburu-buru karena masih ada poin definisi terorisme yang belum disepakati. Meskipun tinggal satu yang tersisa, isu definisi terorisme itu penting dan perlu dibahas dengan hati-hati karena merupakan pintu masuk untuk mengatur substansi tentang tindak pidana terorisme.
Mengacu pada rapat pembahasan terakhir antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dalam Draf Rancangan Undang-Undang Antiterorisme versi 18 April 2018, muncul usulan untuk mempersempit dan membuat spesifik definisi tindakan terorisme dengan menambahkan frasa “tujuan atau motif politik, ideologi, dan tindakan mengancam keamanan negara”.
Sebelumnya, definisi terorisme yang diusulkan oleh Pemerintah dalam draf RUU adalah segala perbuatan yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal atau mengakibatkan kerusakan dan kehancuran terhadap obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional.
Dengan munculnya usulan frasa baru itu, poin yang diperdebatkan adalah perlu atau tidaknya penegasan bahwa suatu tindakan terorisme harus didasarkan pada adanya motif politik, ideologi, dan tindakan yang mengancam keamanan negara. Pemerintah memandang penegasan seperti itu tidak perlu, tetapi sejumlah fraksi partai politik di Panitia Khusus RUU Antiterorisme DPR menilai perlu.
“Beberapa fraksi meminta agar motif-motif itu masuk dalam definisi di batang tubuh RUU. Namun, beberapa fraksi, seperti PPP, menawarkan alternatif lain, agar motif politik, ideologi dan ancaman keamanan negara itu cukup dimasukkan di penjelasan umum,” kata Anggota Pansus RUU Antiterorisme dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani di Jakarta, Jumat (11/5).
Menurutnya, penyempitan definisi tindakan terorisme berpotensi membatasi ruang gerak dan keleluasaan penegak hukum dalam memproses seorang terdakwa teroris. Frasa itu bisa dijadikan pembelaan oleh kuasa hukum terdakwa teroris bahwa pasal materiil yang dikenakan terhadapnya tidak bisa diterapkan karena tindakannya itu tidak memenuhi unsur-unsur definisi terorisme yang ada di undang-undang.
“Makanya, untuk menghindari menimbulkan kesulitan bagi penegak hukum nantinya, sebaiknya aturan tentang itu tidak perlu dicantumkan dalam definisi di batang tubuh undang-undang,” kata Arsul.
Secara terpisah, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform Anggara Suwahju mengingatkan agar peristiwa kerusuhan di Rutan Salemba Cabang Mako Brimob, Depok, pada 8-10 Mei 2018 lalu, tidak dijadikan alasan bagi pemerintah dan DPR untuk gegabah mempercepat pembahasan RUU Antiterorisme. Ia menilai, belum adanya kesepakatan tentang definisi tindakan terorisme harus disikapi dengan hati-hati dan teliti.
“Sebab definisi ini merupakan pintu masuk untuk mengatur materi muatan terkait tindak pidana terorisme. Jika tidak, peluang penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan dalam penegakan hukum terorisme akan terbuka lebar,” katanya.
Kendati demikian, Arsul mengatakan, proses pembahasan isu definisi terorisme seharusnya tidak memakan waktu berlarut-larut. Melihat pemetaan politik antara fraksi-fraksi di pansus, menurutnya, dapat diambil jalan tengah. Yaitu, mengatur tentang penyempitan definisi terorisme di bagian penjelasan umum, bukan di batang tubuh RUU.
“Saya yakin bisa cepat dicapai titik temu. Karena, frasa ‘motif politik, ideologi, dan ancaman keamanan negara’ itu tidak kita hapus, tetapi kita nyatakan di penjelasan saja,” kata Arsul.
Celah militer
Analis Konflik dan Keamanan Pusat Penelitian Badan Keahlian Dewan Poltak Partogi Nainggolan mengatakan, isu definisi terorisme menjadi kunci yang menentukan proses pembahasan RUU Antiterorisme. Sebab, tidak hanya menghambat ruang gerak penegakan hukum untuk pemberantasan terorisme, penyempitan definisi juga dapat menjadi celah untuk melibatkan militer lebih jauh dalam upaya pemberantasan terorisme.
Isu mengenai pelibatan Tentara Nasional Indonesia dalam RUU Antiterorisme sebelumnya sempat menyulur pro dan kontra dan membuat alot pembahasan. Ada kepentingan dan sikap politik yang berbeda, baik antara fraksi-fraksi di DPR maupun di internal pemerintah, terkait perlu tidaknya TNI dilibatkan lebih jauh dalam upaya memberantas terorisme. Ada yang mengkhawatirkan, keterlibatan TNI akan membuat pemberantasan terorisme lebih represif dan mengabaikan prinsip Hak Asasi Manusia.
Kendati demikian, dalam pembahasan terakhir antara DPR-pemerintah, isu yang alot tersebut akhirnya berhasil disepakati. TNI disepakati dilibatkan dengan tetap mengacu pada koridor Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yakni melibatkan TNI dengan keputusan politik dari Presiden.
Partogi menilai, isu definisi terorisme bisa kembali membuka celah untuk melanjutkan perdebatan soal pelibatan TNI itu. “Definisi terorisme bisa menjadi kunci dan poin tawar-menawar antara kelompok sipil-konservatif dan pihak yang pro-militer. Ini bisa menyulitkan pemberantasan terorisme dari aspek hukum pidana, tetapi menguntungkan militer,” kata Partogi, yang juga tim ahli peneliti Pansus RUU Antiterorisme.