JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyepakati bahwa pelibatan Tentara Nasional Indonesia dalam memberantas terorisme akan diatur dalam rancangan Peraturan Presiden yang cukup satu kali dikonsultasikan dengan DPR. Berikutnya, Presiden tidak perlu berkonsultasi lagi dengan DPR untuk menurunkan TNI ketika terjadi suatu kejadian atau aksi terorisme.
DPR juga tidak keberatan jika Pemerintah hendak mengusulkan rencana merevisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Beberapa menganggap, pengaturan yang lebih jelas tentang aturan pelibatan TNI dalam penanggulangan dan pemberantasan terorisme dibutuhkan sebagai acuan saat menyusun Peraturan Presiden tentang pelibatan TNI.
Adapun pemerintah diberi waktu satu tahun setelah revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme disahkan, untuk menyusun rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tersebut.
Ketua Panitia Khusus RUU Antiterorisme dari Fraksi Partai Gerindra Muhammad Syafii mengatakan, keputusan politik negara untuk melibatkan TNI tidak perlu dilakukan berulang kali setiap kali ada peristiwa teror. Keputusan tersebut cukup satu kali dikonsultasikan antara Presiden dengan DPR saat penyusunan rancangan Perpres Pelibatan TNI.
“Supaya tidak setiap ada kejadian, Presiden bolak-balik bertanya lagi ke DPR. Makanya, harus dibuat sedetail dan sesempurna mungkin di Peraturan Presiden nantinya,” kata Syafii di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (22/5/2018).
Anggota Pansus RUU Antiterorisme dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani mengatakan, proses tersebut dilakukan untuk mempersingkat proses penanganan suatu aksi terorisme. Ia mengakui, proses tersebut ibarat DPR memberikan blanket approval atau cek kosong kepada pemerintah untuk menurunkan TNI dalam upaya pemberantasan terorisme, tetapi itu membuat mekanisme lebih efektif.
“Simpelnya memang DPR memberi blanket approval, tetapi itu supaya mekanismenya lebih singkat. Bayangkan, kalau DPR lagi reses, sulit mau berkonsultasi,” kata Arsul.
Dalam pembahasan RUU Antiterorisme, Pemerintah dan DPR menyepakati TNI dilibatkan dalam upaya pemberantasan terorisme. Sesuai Pasal 43J draf RUU disebutkan, pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Namun, teknis keterlibatan itu akan diatur lebih detail dalam Peraturan Presiden (Perpres) dengan tetap mengacu pada UU TNI.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU TNI, tugas pokok TNI termasuk Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Salah satu tugas pokok OMSP TNI adalah mengatasi aksi terorisme. UU TNI tidak mengatur lebih lanjut mengenai teknis keterlibatan TNI itu, selain menyatakan bahwa TNI diturunkan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Keputusan politik negara itu adalah kebijakan politik pemerintah bersama DPR yang dirumuskan lewat rapat konsultasi atau rapat kerja.
Revisi UU TNI
Baru-baru ini, muncul wacana merevisi Undang-Undang TNI dari pemerintah. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM Enny Nurbaningsih mengatakan, pemerintah mulai melakukan pengkajian awal terhadap sejumlah pasal di UU TNI. Namun, menurut dia, arah kajian revisi UU TNI itu belum diketahui karena saat ini, pemerintah masih fokus membahas revisi UU Antiterorisme.
Seharusnya, Selasa kemarin, pemerintah mengadakan rapat untuk membahas tentang usulan revisi UU TNI di kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman. Dalam surat tertanggal 17 Mei 2018 yang sifatnya sangat segera, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengundang Kementerian Hukum dan HAM untuk membahas usulan revisi UU TNI.
Saat dikonfirmasi, Enny mengatakan, rapat tersebut tidak jadi diadakan. Ia juga mengatakan tidak tahu rencana rapat berikutnya karena saat ini pemerintah masih fokus membahas revisi UU Antiterorisme.
Rencana revisi UU TNI itu disambut baik oleh sejumlah anggota DPR. Arsul mengatakan, revisi dapat dilakukan untuk membuat lebih detail mekanisme pelibatan TNI dalam OMSP, termasuk dalam menangani aksi terorisme. Ia menjamin, substansi revisi tidak akan meliar ke mana-mana. “Tidak akan meliar. Masyarakat sipil dan media sekarnag kuat untuk mengawasi. Pemerintah dan DPR tidak akan berani membahas revisi ini ke mana-mana,” katanya.
Arsul menuturkan, rencana merevisi UU TNI sebenarnya pernah dicetuskan dalam pertemuan antara Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto dengan sekretaris jenderal partai-partai koalisi pendukung pemerintah. Dalam pertemuan itu, diusulkan agar jika pelibatan TNI mau didetailkan, tempatnya bukan di revisi UU Antiterorisme, melainkan di UU TNI atau UU Pertahanan Negara.
“Saat itu, Pak Wiranto (Menkopolhukam) mengatakan, ‘oh ya memang kita sudah ada rencana merevisi (UU TNI) itu’,” tutur Arsul.
Adapun pembahasan RUU Antiterorisme rencananya akan dilanjutkan pada Rabu (23/5/2018) ini antara Tim Perumus Panja RUU Antiterorisme DPR dengan Pemerintah. Adapun Rabu (30/5/2018), rapat akan dilanjutkan di tingkat Rapat Kerja antara Panja RUU Antiterorisme dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Selanjutnya, pada Jumat (31/5/2018), RUU Antiterorisme akan disahkan dalam rapat paripurna DPR menjadi undang-undang.