JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah telah menambahkan ketentuan mengenai perlindungan korban terorisme di dalam Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Meski demikian, UU tersebut belum menjelaskan secara detail mekanisme penerapan perlindungan tersebut.
Di dalam RUU Antiterorisme, kini korban terorisme tidak hanya mendapatkan kompensasi semata, tetapi juga bantuan berupa medis, rehabilitasi psikologis, rehabilitasi psikososial, santunan bagi korban meninggal, dan pemberian restitusi.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ahmad Taufik Damanik, Minggu (27/5/2018), di Jakarta, mengatakan, konsep perlindungan korban terorisme sesungguhnya sudah komprehensif. Namun, konsep itu ditakutkan tidak bisa berjalan maksimal apabila perlindungan tersebut tidak diatur secara detail, baik dalam peraturan pemerintah ataupun peraturan presiden.
”Harus ada aturan yang bisa bicara lebih teknis. Jadi lebih jelas implementasinya. Dalam peraturan pelaksanaan itu diatur kelembagaan apa saja yang terlibat, teknisnya seperti apa,” ujar Ahmad. Adapun aturan teknis itu bisa melibatkan berbagai organisasi sosial dan keagamaan.
Setelah ada peraturan teknis, Ahmad menuturkan, negara perlu memikirkan soal anggaran. Hal ini penting karena anggaran sudah dipastikan jauh lebih besar karena perlindungan yang diberikan terhadap korban sangat komprehensif.
”Negara harus menjamin bahwa program perlindungan itu berjalan dengan baik. Untuk jaminan masa depan korban pasti butuh biaya cukup besar dan pemerintah harus menggerakkan APBN,” ujar Ahmad.
Hal ini disebabkan, berdasarkan pengalaman Ahmad, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang selama ini menangani korban pelanggaran berat HAM hanya bisa memenuhi pembayaran BPJS Kesehatan sang korban selama enam bulan. Sementara untuk kasus terorisme, perlindungan harus lebih panjang.
”Kalau tidak ada anggaran disiapkan, bagaimana LPSK menjalankannya. Yang ada selama ini mekanisme perlindungan korban hanya sebatas kesehatan BPJS,” ujar Ahmad.
Selain itu, Ahmad secara khusus menyorot pada anak-anak yang orangtuanya terlibat aksi teror. Menurut Ahmad, anak-anak tersebut tidak cukup hanya dikategorikan sebagai korban, tetapi harus dimasukkan dalam program deradikalisasi.
”Kalau masuk deradikalisasi, ideologi radikalisme anak-anak itu bisa dicegah. Ada pemutus regenerasi sehingga mereka tidak terus terpikirkan ajaran dari orangtua mereka,” kata Ahmad.