JAKARTA, KOMPAS – Selain diuji secara materiil, kini Undang-undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah juga diuji formil di Mahkamah Konstitusi. Pemohon yang merupakan gabungan dari kelompok masyararakat sipil dan perseorangan mengajukan permohonan itu lantaran menilai UU tersebut tidak dibentuk melalui mekanisme pembuatan UU yang sesuai dengan konstitusi.
Pemohon uji formil UU MD3 itu ialah Yayasan Penguatan, Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), dan Komite Pemantau Legislatif Indonesia (KOPEL), serta 28 pemohon perseorangan. Pemohon mempersoalkan proses pembentukan UU MD3 yang dinilai tidak menerapkan ketentuan di dalam konstitusi, khususnya Pasal 20 UUD 1945. Pasal itu mengatur bahwa UU dibentuk oleh DPR dan Presiden.
Kuasa hukum pemohon Veri Junaidi, Rabu (30/5/2018) di Jakarta, seusai sidang di MK menuturkan, pemohon melihat UU MD3 cacat dalam mekanisme pembentukannya. Pemohon merasa MK perlu memperjelas pihak mana sajakah yang berhak membentuk UU, sebab pembentukan UU MD3 tersebut ternyata tidak selaras dengan aturan konstitusi. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia selaku penerima mandat presiden atau mewakili pemerintah, ternyata dalam berbagai kesempatan tidak melapor kepada presiden dalam pembahasan UU MD3. Sebaliknya, presiden juga tidak dilapori soal poin-poin yang dibahas, bahkan akhirnya tidak menandatangani UU tersebut.
“Ditegaskan di dalam konstitusi, yang membentuk dan membahas UU itu adalah DPR dan presiden, bukan DPR dan menteri. Bisa dipahami bahwa bila konsep di dalam konstitusi ini diterapkan mutlak, presiden harus datang rapat ke DPR setiap hari membahas pembentukan UU. Oleh karena itu ada surpres (surat presiden) atau kuasa presiden. Tetapi kami melihat kuasa presiden untuk membahas UU ini merupakan kuasa dalam bentuk mandat, sehingga tanggung jawab, dan tanggung gugat itu ada di presiden,” kata Veri.
Pembentukan UU MD3 dengan mekanisme yang minim koordinasi dan komunikasi antara menteri dan presiden dinilai telah melanggar konstitusi.
Oleh karenanya, pembentukan UU MD3 dengan mekanisme yang minim koordinasi dan komunikasi antara menteri dan presiden, menurut Veri, telah melanggar konstitusi.
“Presiden mengatakan tidak pernah dilapori soal UU MD3, sedangkan menteri juga mengaku tidak pernah melapor karena pembahasannya sangat krusial, dan sebagainya. Ini sudah menunjukkan pembentukan UU MD3 itu cacat formal. Tanggung jawab pembentukan UU bukan pada menteri, karena presiden harus mengetahui perkembangan, dan pembahasan setiap UU harus atas persetujuan presiden,” urainya.
Bila UU MD3 tersebut dinyatakan cacat formil, secara otomatis UU itu batal demi hukum. Seluruh materi UU itu pun batal, dan tidak bisa dijalankan. Begitu pula segala tindakan yang dilandasakan pada UU MD3 itu batal demi hukum. Salah satunya yang bisa dibatalkan ialah penambahan kursi pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebab tindakan politik itu dilakukan berdasarkan UU MD3.
“Dalam proses persidangan ini, kami tidak hanya ingin menguji dan membatalkan UU MD3, tetapi juga menyampaikan perlunya pembelajaran ketatanegaraan yang baik buat pemerintah. Bahwasanya proses pembentukan UU harus dilakukan secara benar, tepat, dan dilakukan oleh yang berwenang. Hal yang memalukan kalau negara memperlihatkan bagaimana komunikasi dan koordinasi antara presiden dan menterinya tidak dilaksanakan secara baik,” ujarnya.
Sidang dalam uji formil UU MD3 itu akan dilanjutkan pada 3 Juli mendatang. Pemohon uji formil juga mengajukan uji materi terhadap tiga pasal di UU MD3, yakni Pasal 73, Pasal 122, dan Pasal 245.
10 pemohon
MK dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman, Rabu, juga mendengarkan keterangan empat ahli. Empat ahli itu ialah Sabam Leo Batubara, Firdaus, Muhammad Faisal, dan Manotar Tampubolon. Mereka memberikan keterangan ahli untuk empat pemohon yang berbeda. Total, kini ada 10 pemohon uji materi UU MD3.
Total, kini ada 10 pemohon uji materi UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi.
Sabam Leo Batubara yang menjadi ahli bagi pemohon dari Perhimpunan Katolik Republik Indonesia (PMKRI) menyatakan, Pasal 73, Pasal 122, dan Pasal 245 UU MD3 menunjukkan DPR yang makin feodal. Keberadaan pasal-pasal itu berpotensi mengkriminalisasi publik yang memilih mereka.
DPR juga dinilai mengambil alih sejumlah kewenangan penting lembaga lain, antara lain dengan mengambil peran yudikatif melalui Majelis Kehormatan Dewan (MKD) yang diberi hak mengambil langkah hukum kepada setiap orang yang dianggap merendahklan martabat anggota DPR. Ketentuan itu diatur di dalam Pasal 122.
“Pasal itu menempatkan MKD sebagai Satpol dari DPR,” kata Sabam.
Ahli lain yang diajukan oleh pemohon perseorangan Muhammad Hafidz, yakni Muhammad Faisal, menilai Pasal 245 Ayat (1) UU MD3 seakan-akan dijadikan tameng atau benteng bagi anggota DPR agar tidak mudah diproses hukum. Pasal itu mengatur pemeriksaan anggota DPR harus mendapatkan persetujuan tertulis dari DPR setelah mendapatkan pertimbangan dari MKD.