Koalisi Pemerintah Tolak Rencana Hak Angket Soal Pj Gubernur Jabar
Oleh
Agnes Theodora dan Antonius Ponco Anggoro
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Penggalangan hak angket terkait penunjukan perwira tinggi Polri sebagai kepala daerah yang diusulkan oleh Fraksi Partai Demokrat dan Gerindra mendapat pertentangan dari fraksi-fraksi partai pendukung pemerintah. Koalisi khawatir hak angket secara politis akan digunakan untuk kepentingan menjelang Pemilihan Umum 2019 dibandingkan sebagai bentuk pengawasan DPR terhadap pemerintah.
Kendati demikian, inisiator hak angket dari Fraksi Partai Demokrat dan Partai Gerindra tetap menggalang dukungan untuk memenuhi syarat pengajuan hak angket yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Sejauh ini, sudah ada 27 anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat yang mendukung usulan hak angket tersebut.
Adapun syaratnya, usulan hak angket atau hak untuk menyelidiki pelaksanaan undang-undang atau kebijakan Presiden harus diajukan oleh sedikitnya 25 anggota DPR dan lebih dari satu fraksi di DPR.
Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani saat dihubungi di Jakarta, Rabu (20/6/2018) mengatakan, hak angket itu bersifat politis dan dapat dengan mudah ditujukan untuk menjatuhkan Presiden Joko Widodo menjelang Pemilihan Umum 2019. Pasalnya, pengangkatan pejabat sementara kepala daerah itu berdasarkan Keputusan Presiden.
“Kalau posisinya bergeser menjadi upaya politis seperti itu, maka posisi partai-partai kembali lagi pada kedudukannya, di dalam atau di luar pemerintahan. Jadi kami tidak setuju kalau koreksi terhadap pemerintah itu harus dilakukan dengan menggunakan hak angket,” kata Arsul.
Menurutnya, pemerintah memang perlu dimintai penjelasan dan pertanggungjawaban. Tetapi, ada banyak cara untuk menjalankan fungsi pengawasan itu, misalnya melalui rapat dengar pendapat dan mendatangkan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo serta sejumlah ahli hukum.
Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Johnny Plate mengatakan, meskipun Nasdem mendukung niat Demokrat dan Gerindra untuk meminta penjelasan dari pemerintah yang akurat, tetapi Nasdem akan menolak jika hak angket tersebut disinyalir mengarah pada hak menyatakan pendapat.
“Kami pasti menentang, tetapi kami juga butuh penjelasan dari pemerintah agar masyarakat memahami landasan hukum yang dipakai pemerintah terkait penunjukan itu,” kata Johnny.
Adapun Demokrat dan Gerindra terus menggalang dukungan usulan hak angket terhadap penunjukan Komisaris Jenderal (Pol) Iriawan menjadi pjs Gubernur Jawa Barat. Penunjukan Iriawan dinilai sebagai upaya pemerintah memenangkan salah satu calon kepala daerah di Jawa Barat serta sebagai konsolidasi awal Pemilu 2019.
Selain itu, penunjukan seorang perwira tinggi aktif sebagai kepala daerah itu juga dinilai melanggar Pasal 28 Ayat 1 dan 3 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian yang mengatur Polri bersikap netral dan tak teribat kegiatan politik praktis, melanggar UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah, serta UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Kebijakan pemerintah itu dianggap bertentangan dengan semangat cita-cita reformasi untuk mewujudkan pemerintahan sipil dan mengoreksi dwifungsi aparat.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Rachland Nashidik mengatakan, dengan memaksa mengangkat polisi aktif sebagai pejabat sementara gubernur, Presiden telah melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017. Rachland pun mempertanyakan posisi Presiden yang diduga tidak membaca sebelum menandatangani, tidak peduli pada rambu-rambu aturan, yang berarti melakukan perbuatan tercela.
Peraturan yang dimaksud adalah Pasal 157 PP 11/2017 bahwa perwira TNI dan Polri dapat mengisi jabatan pimpinan tinggi (JPT) pada instansi pemerintah selain instansi pusat tertentu, setelah mengundurkan diri dari dinas aktif, apabila diperlukan, dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif.
Atas dasar itu, Rachland menilai, hak angket itu bisa saja berlanjut di kemudian hari menjadi hak menyatakan pendapat. Hak menyatakan pendapat adalah instrumen pengawasan DPR yang dapat menjadi pintu masuk terhadap pemberhentian seorang Presiden atau Wakil Presiden.
“Jadi, bukan hanya melanggar sederet undang-undang, demi memaksakan keputusan politik yang salah dan mencurigakan, Presiden Jokowi juga melanggar peraturan yang ia tandatangani sendiri,” Rachland kemudian melanjutkan, “Tidakkah itu berarti Presiden melakukan perbuatan tercela?”
Secara terpisah, Mendagri Tjahjo Kumolo tetap yakin tidak ada yang salah dengan penunjukan Komjen Iriawan sebagai penjabat gubernur Jawa Barat. Menurutnya, sebelum nama Iriawan disampaikan ke Presiden, Kemendagri telah mengecek peraturan perundang-undangan yang ada. Kemudian sebelum disampaikan ke Presiden, Kementerian Sekretaris Negara juga telah menelaahnya.
Atas dasar keyakinan itu, ia menyatakan tidak akan mengkaji ulang penunjukan Iriawan. "Secara hukum tidak ada yang menyimpang. Keppres penunjukan Iriawan keluar sudah melalui telaahan yang cukup detail, ga mungkin Keppres asal-asalan. Itu saja. Soal ada yang suka dan tidak suka, soal ada yang khawatir, kenapa khawatir? Hanya 9 hari saja sampai hari H kok (hari pemungutan suara Pilkada Jawa Barat Tahun 2018)," jelasnya.
Terkait sejumlah fraksi di DPR yang hendak mengajukan hak angket, Tjahjo kembali mengatakan akan memenuhi undangan DPR untuk menjelaskan penunjukan Iriawan.
Ia pun membantah anggapan pemerintah melanggar PP Nomor 11 Tahun 2017. Sebab, status Irawan saat ini adalah Sekretaris Utama di Lemhanas. Sehingga, Iriawan sudah tidak berstatus dinas aktif di lembaga Kepolisian. Iriawan pun tidak perlu mengundurkan diri karena sesuai dengan amanat Pasal 9 PP Nomor 21 Tahun 2002, penugasan TNI/Polri pada instansi tertentu tidak memerlukan alih status menjadi PNS.
“Maka, Pak Iriawan secara status masih polisi, namun tidak lagi berdinas aktif karena mendapat penugasan sebagai Sestama Lemhanas. Karena Sestama Lemhanas adalah JPT Madya, maka Pak Iriawan memenuhi syarat untuk diusulkan sebagai PJ Gubernur Jawa Barat,” kata Tjahjo.
Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Nihayatul Wafiroh memprediksi hak angket akan kandas di tengah jalan karena jadwal waktu yang tidak memungkinkan. DPR baru akan kembali beraktivitas pada Senin (25/6/2018) mendatang. Sementara, hari pemungutan suara Pilkada 2018 adalah 27 Juni 2018. “Jadi ini kan berkejaran dengan waktu. Proses angket saja membutuhkan waktu. DPR baru mulai rapat-rapat lagi minggu depan setelah Pilkada. Pada saat itu, masa jabat PJS yang dipermasalahkan juga sudah habis,” kata Nihayatul.