Setelah Kotak Kosong “Melawan” Para Petahana
Meningkatnya jumlah calon tunggal dalam tiga gelombang pilkada serentak transisional menimbulkan kekhawatiran terhadap esensi kontestasi dalam demokrasi. Namun, hasil sementara rekapitulasi sementara perolehan suara 28 Juni menunjukkan kecenderungan kotak kosong semakin kencang “melawan”.
Seorang petugas penghubung dari Badan Pengawas Pemilu berdiri di depan contoh kertas suara yang dipasang di depan tempat pemungutan suara (TPS) 2 Kelurahan Panunggangan, Kecamatan Pinang, Kota Tangerang, Banten, Rabu (27/06/2018) pagi. Kepada perwakilan badan penyelenggara pemilu dari luar negeri, perwakilan kedutaan besar negara sahabat, serta pegiat pemilu, ia menyampaikan pengaturan soal pilkada dengan pasangan calon tunggal.
Ia menjelaskan mulai dari tata cara pencoblosan hingga bagaimana kemenangan ditentukan dalam kasus kandidat melawan kotak kosong. Pasangan calon tunggal bisa meraih kemenangan jika mendapat suara terbanyak. Sementara itu, jika kotak kosong yang meraih suara terbanyak, maka pemilihan akan dilakukan kembali pada setahun kemudian atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang ditentukan di perundang-undangan.
“Apakah suara mayoritas lebih dari 50 persen itu berdasarkan suara sah atau dari jumlah pemilih yang teregistrasi?” tanya Kongyos Boonark, Direktur Divisi Luar Negeri pada Komisi Pemilihan Umum Thailand. “Berdasarkan suara sah yang masuk,” jawab petugas tersebut.
Kongyos kemudian membandingkan pengaturan itu dengan kasus negaranya bersama seorang peserta lain Elections Studies Program. Acara yang diselenggarakan Badan Pengawas Pemilu RI itu dihadiri sekitar 100 peserta, di antaranya ada perwakilan 12 lembaga pemilihan umum luar negeri, seperti Thailand, Timor Leste, Swiss, Australia, Filipina, dan India. Para peserta dibagi menjadi beberapa tim yang mendatangi daerah berbeda, yakni di Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Serang, Kota Bekasi, dan Kota Tangerang.
Dari lima daerah tersebut, Kota Tangerang menyelenggarakan pilkada dengan satu pasangan calon. Pasangan calon petahana Arief R Wismansyah dan Sachrudin didukung 10 partai politik parlemen. Namun, Kota Tangerang tidak sendiri. Pada Pilkada Serentak 2018, ada 16 dari 171 daerah yang menggelar pilkada dengan calon tunggal. Dari 16 daerah itu, 14 di antara pasangan calon tunggal itu merupakan petahana yang “memborong” parpol, sehingga tidak tersisa kendaraan politik bagi paslon alternatif.
Penyediaan pilihan
Pada tiga gelombang pilkada jumlah pasangan calon tunggal terus naik. Pilkada Serentak 2015 ada tiga daerah dengan paslon tunggal, kemudian di tahun 2017 naik menjadi sembilan daerah. Saat dimintai tanggapan soal fenomena ini, Wakil Duta Besar Republik Federal Jerman Hendrik Barkeling yang menjadi salah satu peserta program Bawaslu itu menuturkan bahwa esensi sebuah pemilihan ialah menyediakan pilihan-pilihan, sehingga seyogianya ada kandidat yang bisa dipilih oleh para pemilih.
Kendati begitu, ia juga mengapresiasi di tengah pilkada dengan calon tunggal itu, para pemilih masih diberikan pilihan untuk tidak setuju terhadap calon tunggal. “Itu bagus karena artinya masih ada pilihan, tetapi dalam konteks demokrasi, akan lebih bermakna jika pilihan itu merupakan pilihan kandidat yang berbeda,” kata Hendrik.
Dari sisi pengajuan kandidat, dia menilai di Jerman ambang batas untuk mengajukan kandidat dalam pemilihan cenderung lebih rendah dibanding Indonesia. Sebenarnya, para pegiat pemilu di Indonesia berkali-kali mengingatkan pembuat regulasi bahwa syarat pencalonan kandidat baik dari jalur partai politik maupun perseorangan terlalu berat.
Saat ini, untuk mengusung kandidat, partai politik atau gabungan parpol harus memiliki minimal 20 persen kursi di DPRD atau 25 persen raihan suara sah pada pemilihan legislatif terdahulu. Sementara itu, calon perseorangan juga harus mengumpulkan dukungan minimal 6,5-10 persen dari daftar pemilih tetap pemilihan terdahulu.
Perlawanan kotak kosong
Esensi kontestasi dalam pilkada dengan calon tunggal memang menjadi terganggu. Namun, hasil rekapitulasi sementara terhadap hasil pemungutan suara di daerah yang berpilkada dengan calon tunggal tahun 2018 mengindikasikan adanya “perlawanan” dari pemilih kotak kosong. Hasil olah data dari hasil rekap cepat Komisi Pemilihan Umum (KPU) hingga Kamis (28/06/2018) pukul 16.00, di 14 dari 16 daerah pilkada calon tunggal, menunjukkan di 4 dari 14 daerah atau sekitar 28 persen, kotak kosong meraih lebih dari 30 persen suara pemilih. Sebelumnya, pada Pilkada Serentak 2017, dari 9 daerah pilkada calon tunggal, hanya 1 daerah yang kotak kosong mendapat suara lebih dari 30 persen.
Jika pada Pilkada Serentak 2017, hanya ada satu daerah di mana calon tunggal hampir kalah dari kotak kosong, di Pilkada Serentak 2018, hasil hitung cepat beberapa lembaga survei mengindikasikan kotak kosong unggul dari calon tunggal di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Data KPU juga menunjukkan kotak kosong meraih 53,17 persen, di atas pasangan calon Munafri-Rachmatika yang mendapat 46,83 persen. Namun, data yang masuk masih 60,71 persen.
“Calon tunggal itu fenomena yang baru muncul di Pilkada Serentak 2015. Masyarakat belum sepenuhnya terbiasa dengan calon tunggal dan kotak kosong. Namun, mereka mulai beradaptasi dengan mekanisme pemilihan, yang membuat pemilih kotak kosong meningkat,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini.
Titi mulai melihat ada kecenderungan semakin terkonsolidasinya gerakan pendukung kotak kosong yang tidak menginginkan pikada hanya dengan satu pasangan calon. Hanya saja, Titi menilai masih ada situasi tidak berimbang dalam kampanye yang seolah memberi karpet merah bagi calon tunggal. Kampanye yang difasilitasi hanya calon tunggal. Dia menilai ke depan harus ada keseimbangan dan pengaturan lebih setara mulai dari sosialisasi hingga fasilitasi kampanye oleh negara.
“Penyebaran informasi harus betul-betul mengedukasi masyarakat bahwa mereka masih boleh punya pilihan selain calon tunggal. Jika mereka tidak setuju masih ada mekanisme untuk mengekspresikan pilihan politik,” kata Titi.
Dengan kata lain, gagasan ini bisa memperkecil insentif bagi kandidat calon tunggal yang berharap bisa menang mudah dengan menghindari kompetisi antar kandidat, lantas memilih melawan kotak kosong.
Juru Bicara Asian Network for Free Elections (Anfrel) Damago Magbual menuturkan, terbuka ruang untuk memperbaiki regulasi pemilihan di Indonesia. Ia mengatakan, dalam pilkada dengan calon tunggal memang sudah ada ambang batas untuk menentukan pemenang, yakni 50 persen lebih dari suara sah. Namun, dengan tendensi ketiadaan kontestasi pada pilkada calon tunggal, pemilih biasanya tidak tertarik untuk memilih. Dengan begitu, bisa saja raihan mayoritas itu berasal dari tingkat partisipasi pemilih yang rendah. Ambang batas kemenangan bisa ditingkatkan, disesuaikan dengan sejarah dan karakteristik pemilihan di Indonesia.
Selain itu, Damaso juga berpendapat perlu juga mengamandemen undang-undang partai politik agar parpol benar-benar menyediakan kandidat bagi para pemilih. Dia mengingatkan, hal itu merupakan salah satu kewajiban parpol.
Pertanyaannya, kini maukah para pemangku kepentingan pemilihan mendengarkan masukan itu? Atau justru ingin membiarkan pilkada dengan calon tunggal terus muncul?