JAKARTA, KOMPAS — Muhammadiyah bersama Dewan Masjid Indonesia atau DMI menegaskan komitmennya untuk menjadikan masjid sebagai pusat perekonomian, pendidikan, dan kebudayaan bagi masyarakat. Hal itu sejalan dengan semboyan DMI, memakmurkan dan dimakmurkan masjid.
”Dalam konteks kebangsaan, kita punya potensi besar yang dapat dimaksimalkan, tapi ada juga masalah, seperti radikalisme dan intoleransi yang mungkin berkembang. Oleh karena itu, kami usahakan masjid menjadi institusi ekonomi, pendidikan, dan budaya untuk merekatkan dan memberdayakan masyarakat, serta mengurangi ketimpangan ekonomi,” kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir.
Menurut Nashir, ketimpangan ekonomi adalah satu faktor tumbuhnya radikalisme. Hal ini dinyatakan saat ia menerima kunjungan Wakil Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) Komjen Syafruddin di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Senin (5/7/2018).
Hadir pula dalam pertemuan tersebut beberapa pengurus Muhammadiyah, seperti Bachtiar Effendy, Busyro Muqoddas, Agung Danarto, dan Imam Abduruqutni. Rektor Universitas Muhammadiyah Aceh Muharrir Asy’ari dan Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Bireun Athaillah A Latief juga turut serta dalam pertemuan tersebut.
Untuk memakmurkan masyarakat, Syafruddin mengatakan, sudah dilaksanakan beberapa program pemberdayaan ekonomi, seperti menjadikan masjid sebagai pusat-pusat wisata religi yang dimulai di Cirebon. ”Muhammadiyah adalah pencetak sumber daya manusia yang akan mengurus masjid. Oleh karena itu, DMI dan Muhammadiyah harus sinkron dalam pengelolaan masjid,” katanya.
Di Indonesia timur, Nashir mengatakan, program Muhammadiyah memang tidak populer di kalangan masyarakat. Dari total sekitar 12.000 sekolah, ratusan sekolah Muhammadiyah dibangun di Maluku dan Papua. Pendidikan yang diberikan kepada masyarakat di pulau-pulau terluar mencakup pendidikan dasar melalui sekolah formal, pendidikan bercocok tanam, dan beternak.
Nashir juga mengatakan terdapat kapal Muhammadiyah yang secara kontinu mengelilingi pulau-pulau di Maluku untuk memberikan fasilitas kesehatan. ”Respons masyarakat di daerah-daerah tersebut sangat bagus meskipun umat Muslim adalah minoritas,” kata Nashir.
Dari segi keamanan, Syafruddin, dalam kapasitasnya sebagai Wakapolri, menyatakan, pemerintah mengontrol penuh wilayah Indonesia. ”Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, tiada sejengkal tanah pun yang tidak diamankan Pemerintah Indonesia,” katanya.
Bina generasi milenial
Untuk membimbing generasi milenial, Nashir dan Syafruddin sepakat perlu dilakukan reformasi masjid agar lebih menarik bagi anak-anak muda. Hal ini digagaskan dari kekhawatiran akan risiko masuknya paham-paham baru yang dapat disalahartikan oleh generasi milenial.
Menurut Nashir, anak-anak milenial cerdas memiliki kemampuan teknologi informasi yang tinggi. Jika tidak dibimbing, mereka dikhawatirkan menjadi anak-anak Android yang egois, tidak peka lingkungan, dan tidak mengerti sopan-santun sesuai budaya timur Indonesia.
”Untuk itu, masjid harus diubah menjadi lebih pro-anak muda dan lebih keren supaya anak muda mencintai masjid. Ini tidak mudah,” kata Nashir.
Terkait dengan itu, pihak Muhammadiyah tengah menyusun model madrasah diniyah untuk mendidik anak muda secara informal di masjid. Model ini menjadi bagian dari konsep pendidikan holistik Muhammadiyah yang mencakup keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pendidikan di masjid berada dalam domain masyarakat.
Menyongsong Pemilihan Presiden 2019, Nashir kembali mengingatkan bahwa masjid bukan arena politik praktis. Namun, masjid harus dapat menjadi pusat pendidikan, pencerdasan, dan pendewasaan politik agar masyarakat menjadi melek, sadar, dan beradab secara politik.
Ia juga mengimbau masyarakat agar lebih cerdas dan dewasa dalam memilih karena ini menentukan keberhasilan demokrasi dan partisipasi politik masyarakat. ”Yang lebih penting lagi, jangan gontok-gontokan karena pilihan yang berbeda,” kata Nashir. (E03)