Try Sutrisno: Berdemokrasilah Sesuai Jati Diri Bangsa
Oleh
M Fajar Marta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Guru Bangsa Try Sustrisno kembali mengingatkan masyarakat Indonesia agar teguh berdemokrasi sesuai jati diri bangsa, seperti yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila.
“Jangan terbawa arus demokrasi liberal dan globalisasi karena demokrasi seperti itu tidak sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia. Demokrasi yang cocok untuk kita adalah demokrasi yang bersendikan nilai-nilai Pancasila,” kata Wakil Presiden periode 1993 – 1998 itu saat berdiskusi dengan sejumlah alumni SMA Taruna Nusantara akhir pekan lalu di Jakarta.
Try mengatakan, berdasarkan sejarah peradaban bangsa-bangsa di dunia, sebuah bangsa akan mudah mengalami goncangan dan kemudian hancur jika tidak mampu mempertahankan jati dirinya. Jati diri bangsalah yang membuat suatu negara menjadi kuat.
Sayangnya, menurut Try, banyak aturan dan kebijakan yang dijalankan di Indonesia jauh melenceng dari nilai-nilai Pancasila dan jati diri bangsa.
“Sistem perekonomian kita misalnya, sudah sangat liberal. Tidak aneh, ekonomi kita sering bergejolak akibat faktor eksternal. Sebab, kita mengikuti sistem dan aturan main mereka. Kita tidak membangun demokrasi ekonomi sendiri yang sesuai dengan ekonomi Pancasila,” kata mantan Panglima ABRI ini.
Sistem ekonomi yang liberal, kata Try, hanya menciptakan ketidakadilan dan memperlebar jurang kesenjangan di masyarakat. Inilah yang menjelaskan mengapa rasio kesenjangan atau Gini Ratio di Indonesia relatif tinggi selama bertahun-tahun.
Di sistem politik, demokrasi yang diterapkan di Indonesia juga kurang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
“Kita ikut-ikutan demokrasi liberal dengan sistem one man one vote. Padahal, sistem yang sesuai dengan jati diri bangsa dan sudah dikaji mendalam oleh para pendiri bangsa adalah pemusyawaratan. Amerika sendiri, yang biangnya liberal, tidak sepenuhnya menggunakan one man one vote seperti Indonesia,” kata Try.
Kondisi tersebut pada akhirnya hanya menciptakan sistem politik yang berbiaya tinggi dan rentan menimbulkan gesekan di masyarakat. Dampaknya, banyak kepala daerah atau legislatif yang terdorong korupsi untuk mengganti besarnya biaya yang harus mereka keluarkan saat kampanye.
Selain itu, kata Try, akibat tidak adanya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan MPR sebagai lembaga tertinggi, jalannya pembangunan di negeri ini praktis diserahkan kepada presiden terpilih.
Padahal, tiap presiden belum tentu memiliki visi yang sama dalam membangun dan menjalankan roda pemerintahan. Akibatnya, pembangunan tidak berkesinambungan. Program pembangunan yang dijalankan rezim pemerintah sebelumnya, belum tentu dilanjutkan oleh rezim berikutnya.
“Ini tidak akan terjadi kalau ada GBHN yang dibuat oleh MPR. Tiap presiden hanya akan melaksanakan program-program yang sudah digariskan dalam GBHN. Karena pada dasarnya, presiden hanyalah mandataris MPR. Adapun MPR merupakan wujud dari aspirasi dan kedaulatan rakyat Indonesia,” kata Try.
Karena itu, menurut Try, perlu dikaji untuk kembali menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi. Di MPR, seluruh unsur yang ada di masyarakat Indonesia bermusyawarah untuk mensejahterakan rakyat.
Dengan adanya MPR sebagai lembaga tertinggi, rakyat akan tetap berdaulat, tidak seperti saat ini di mana partai politiknya yang cenderung menguasai negeri ini.
Presiden ke-3 RI Bacharuddin Jusuf Habibie, seperti dikutip dari Kompas (16/8/2017) juga menganjurkan Indonesia kembali memakai Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Tujuannya, untuk mewujudkan kesinambungan pembangunan di Indonesia.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.