JAKARTA, KOMPAS – Terganjalnya upaya pencegahan korupsi di berbagai daerah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tidak bisa dilepaskan dari komitmen para kepala daerah. Meski demikian, KPK juga perlu berbenah untuk memperbaiki sistem evaluasi dan menambah sumber daya manusia agar mampu memberikan pendampingan yang optimal ke masing-masing daerah.
Penangkapan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf pada 3 Juli lalu menjadi pengingat kembali. Pada 3 April 2018, Irwandi mengirim surat ke KPK meminta asistensi dan bantuan teknis yang langsung disikapi dengan kehadiran Wakil Ketua KPK Saut Situmorang untuk melakukan kerja sama pada 27 April 2018.
Koordinator Unit Kerja Koordinasi dan Supervisi Bidang Pencegahan KPK Asep Rahmat Suwanda di Gedung KPK Jakarta, Rabu (11/7) menjelaskan, hal semacam ini menjadi tantangan bagi satuan tugasnya. Menurut dia, ada 542 pemerintah daerah yang tersebar di 34 Provinsi yang ditangani 9 satuan tugas KPK. Dari jumlah tersebut, beberapa daerah memiliki kekhasan masing-masing dari persoalan wilayah, kendala teknis, hingga komitmen dari kepala daerahnya.
“Tiap daerah karakternya berbeda. Strategi yang dijalankan pun tergantung daerahnya. Ada yang secara fasilitas terpenuhi, termasuk masalah teknologi informasi. Ada juga kendala lainnya. Kalau kemudian ada daerah yang secara nyata tidak memberikan respon atau kurang serius, bahkan komitmen rendah, kami fokus untuk membantu tapi jika memang tidak bisa dibantu ya sudah,” kata Asep.
Selama ini, upaya pencegahan yang secara seremonial ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman atau pakta integritas ditindaklanjuti melalui rencana aksi yang menyasar sembilan indikator. Kesembilan indikator itu antara lain pengelolaan APBD, membangun Pelayanan Terpadu Satu Pintu, membangun sistem pengadaan barang jasa, memperkuat APIP, membangun sistem manajemen ASN, membangun sistem pendapatan daerah, pengelolaan dana desa, pengelolaan barang milik daerah, dan membangun sistem pengelolaan di sektor strategis.
Kesembilan program ini selalu dipantau oleh para petugas melalui Sistem Informasi Koordinasi dan Supervisi Pencegahan. Dari sistem ini, rata-rata pemenuhan tiap indikator di tingkat pusat mencapai 31,59 persen. Untuk Aceh, pemenuhannya melebihi yaitu 44,60 persen.
“Di atas rata-rata memang, tapi banyak celah risiko intervensi pihak lain dalam pengadaan barang jasa,” ujar Asep.
Kejadian serupa seperti di Aceh bukan hanya terjadi kali ini. Sejumlah gubernur yang telah bekerjasama dengan KPK nyatanya terjerat korupsi dan suap. Bahkan berturut-turut kepala daerahnya ditangkap. Antara lain, Bengkulu yang pemenuhan daerahnya 36,05 persen, Jambi pemenuhan daerahnya 20,13 persen, Sulawesi Tenggara pemenuhannya 20,11 persen, Riau 47,56 persen, dan Sumatera Utara 43,07 persen.
Mayoritas indikator yang minim terpenuhi terkait sistem manajemen ASN, optimalisasi pendapatan daerah, dan manajemen aset daerah. Untuk pengelolaan APBD nyari semua daerah telah terpenuhi, karena sistemnya sudah disediakan oleh BPKP.
“Kalau ada yang pemenuhannya masih rendah, kami akan beri masukan. Tapi kami juga bekerjasama dengan masyarakat dan menerima aduan yang diteruskan ke pengaduan masyarakat untuk ditindaklanjuti,” ungkap Asep.
Terbatas tenaga
Di sisi lain, jumlah SDM juga terbatas. Sejauh ini, unit kerja ini hanya memiliki 50 pegawai sehingga 1 pegawai bertanggungjawab untuk 10-12 daerah. Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko mengingatkan pentingnya ketegasan inovasi dalam program pencegahan.
Terlebih lagi, kemampuan para koruptor untuk mengakali aturan dan memanfaatkan ruang gelap juga kian canggih melihat perkembangan sistem yang dibangun untuk mendorong transparansi.
“Ini perlu agar yang dilakukan KPK tidak lagi dianggap hanya seremonial,” ujar Dadang.