JAKARTA, KOMPAS — Rencana pembentukan Dewan Kerukunan Nasional oleh Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan masih menunggu keputusan Presiden Joko Widodo dalam bentuk peraturan presiden. Ketegasan itu penting agar penuntasan pelanggaran HAM tidak terus berlarut.
Direktur Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi, di Jakarta, Minggu (22/7/2018), mengatakan, pihaknya masih menunggu peraturan presiden (perpres) untuk segera menindaklanjuti pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Sebab, hanya dengan perpres itu, harmonisasi antarkementerian dan lembaga dalam upaya penuntasan pelanggaran HAM baru dapat tercapai.
”Kapannya (perpres dikeluarkan), kami tidak bisa tentukan. Semua keputusan di Presiden. Jadi, pada rapat terakhir, kami dalam posisi menunggu persetujuan dan perintah dari Presiden melalui perpres untuk harmonisasi itu,” ujar Mualimin.
Sebelumnya, Menko Polhukam Wiranto menyatakan, pembentukan DKN menjadi jalan keluar untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Pembentukan DKN ditujukan sebagai salah satu instrumen penyelesaian konflik sosial nasional dengan mengedepankan pendekatan nonyudisial, yakni musyawarah untuk mencapai mufakat (Kompas, 18 Juli 2018).
Mualimin menuturkan, berdasarkan rapat terakhir di kantor Kemenkopolhukam pada 17 Juli, dalam pengoperasiannya, DKN akan melibatkan kepala daerah, negarawan, dan para ahli, baik dari sosial maupun hukum. Mereka yang terlibat pun harus dipastikan terbebas dari unsur politik dan netral.
”Yang terlibat harus mereka yang memikirkan negara. Ini harus dimulai. Kalau tidak, negara kita akan dibayangi dosa masa lalu terus-menerus,” ujarnya.
Tak hanya itu, sambil menunggu pembentukan DKN, pemerintah juga tengah membuat portal khusus yang memuat perkembangan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Pembuatan portal khusus ini bertujuan untuk melaporkan kepada publik hasil perkembangan koordinasi antarpemangku kepentingan yang mengurus masalah ini, antara lain Komisi Nasional HAM, Kementeriah Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Polri, TNI, serta Kementerian Dalam Negeri.
”Nanti setiap kementerian dan lembaga akan menyampaikan hal-hal apa saja yang sudah dikerjakan terkait upaya penuntasan pelanggaran HAM berat. Mekanisme konkretnya nanti akan dirumuskan kembali. Jadi, keseriusan penuntasan pelanggaran HAM berat itu sudah ada,” tutur Mualimin.
Sementara itu, komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, mengatakan, pihaknya menolak usulan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui jalur nonyudisial atau rekonsiliasi. Menurut dia, pembentukan DKN bukan merupakan agenda keadilan, melainkan politis sehingga jauh dari semangat reformasi.
”Harusnya Presiden Jokowi tertib, seperti yang diungkapkan kepada kami, kalau beliau mau menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat dengan cara sesuai hukum,” ujarnya.
Bagi Komnas HAM, penuntasan kasus pelanggaran HAM harus tetap melalui jalur yudisial. Presiden harus tegas mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang mencakup pembentukan pengadilan ad hoc, skema pemulihan korban pelanggaran HAM, dan pelurusan sejarah.
”Perppu itu harus segera keluar melihat keluarga korban (pelanggaran HAM) sudah mulai menua. Keseriusan Presiden dapat dilihat dengan cara apa dia memilih penuntasan pelanggaran HAM. Jangan sampai penuntasan itu hanya berhenti di wacana,” lanjutnya.