JAKARTA, KOMPAS - Fenomena penyebaran isu intoleran untuk kepentingan politik berpotensi memuncak pada kontestasi Pemilu 2019. Atas dasar itu, pemerintah dan penyedia layanan media sosial harus mengantisipasi potensi penyebaran konten kampanye bermuatan ujaran kebencian dan hoaks.
Direktur Riset Setara Institute Halili menuturkan, polarisasi politik yang terjadi pada Pemilu Presiden 2014, kemudian berlanjut pada Pilkada DKI Jakarta 2017, akan berlanjut pada Pemilu Presiden 2019 mendatang. Ia menilai upaya penyebaran isu-isu intoleran pada Pilpres 2019 akan dilakukan dengan kampanye hitam yang menyebarkan secara masif hoaks berlandaskan agama dan ras.
”Intoleransi akan memuncak pada 2019. Hal itu menunjukkan adanya kegagalan institusionalisasi partai politik (parpol) sehingga elite politik hanya mementingkan kepentingan kelompoknya dengan menghalalkan segala cara,” kata Halili, Rabu (25/7/2018), di Jakarta.
Direktur PoliticaWave Yose Rizal menambahkan, penyebaran isu-isu intoleran pada masa kampanye Pilpres 2019 akan dipengaruhi pasangan calon yang berkompetisi. Kalau pola koalisi parpol serupa dengan Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2017, penggunaan isu-isu bermuatan suku, agama, ras, dan antargolongan dalam kampanye akan kembali mengemuka.
”Konten negatif yang diangkat hanya recycle, artinya isu itu-itu saja, seperti komunis dan etnis Tionghoa. Isu itu sebenarnya bersifat laten karena selalu muncul di setiap perhelatan politik, tetapi masa kini ditambah fasilitas media sosial (medsos),” ujar Yose.
Konten negatif yang diangkat hanya recycle, artinya isu itu-itu saja, seperti komunis dan etnis Tionghoa. Isu itu sebenarnya bersifat laten karena selalu muncul di setiap perhelatan politik, tetapi masa kini ditambah fasilitas media sosial (medsos)
Namun, ia menekankan, apabila pola koalisi parpol lebih cair, kehadiran kampanye intoleran juga akan menurun drastis. Hal itu terbukti pada pada Pilkada 2018 ketika parpol pendukung pemerintah dan oposisi mendukung pasangan calon yang sama.
Sistem kontrol
Selain itu, Yose menekankan, tindakan tegas dari pemerintah dan penyedia layanan medsos menjadi cara lain untuk meredam penyebaran ujaran kebencian dan hoaks di Pemilu 2019.
“Penindakan hukum oleh pemerintah, serta pencegahan konten negatif, seperti melakukan blokir akun, yang dilakukan penyedia layanan medsos cukup ampuh meredam konten intoleran dan ujaran kebencian di internet,” kata Yose.
Ia berharap upaya pemberian tindakan tegas kepada produsen dan penyebar ujaran kebencian dan hoaks itu secara konsisten dan terus dilakukan. Sebab, menurut Yose, polarisasi politik pada Pilpres 2014 terjadi karena lemahnya penindakan dan pemberian hukuman kepada pelaku intoleran di dunia maya.
Kepala Divisi Humas Kepolisian Negara RI Inspektur Jenderal Setyo Wasisto menekankan, upaya penegakan hukum yang dilakukan aparat kepolisian tidak cukup untuk meredam aktivitas para produsen dan penyebar ujaran kebencian dan hoaks. Oleh karena itu, Polri, tambahnya, berharap bantuan nyata dari penyedia layanan media sosial, seperti Google, Facebook, dan Twitter, untuk bergerak aktif menghentikan penyebaran informasi atau berita yang tidak benar.
Seiring semakin berkurangnya aktivitas kampanye di dunia nyata, Halili mengatakan, pemerintah perlu meningkatkan sistem kontrol medsos. “Ketika medsos tidak terkontrol, hal itu akan menjadi blunder dalam pendidikan politik. Dengan situasi literasi politik yang masih rendah bagi sebagian masyarakat Indonesia, maka publik akan semakin mudah dibohongi elite politik,” ujarnya.
Guru Besar Antropologi Budaya Universitas King Fahd, Saudi Arabia Sumanto Al Qurtubi di Semarang, Jawa Tengah, mengemukakan, faktor terpenting munculnya intoleransi dan radikalisme di Indonesia adalah ketidakpahaman akan demokrasi. Dalam demokrasi, sebenarnya tidak ada lagi kelompok mayoritas ataupun minoritas.