JAKARTA,KOMPAS – Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang yang maju dalam pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Kalimantan Barat untuk Pemilu 2019, menolak tunduk pada putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan itu dinilainya salah, dan dia pun mendesak KPU agar tidak mematuhi putusan tersebut.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dimaksud adalah putusan nomor 30/PUU-XVI/2018 tanggal 23 Juli 2018. Putusan menegaskan, mereka yang mencalonkan diri sebagai anggota DPD tidak boleh merangkap sebagai pengurus partai politik.
“Saya akan berjalan sesuai hukum yang berlaku. Jadi hukum jangan dilanggar. Kalau aparat hukum melanggar bagaimana negara ini? Nah dia (MK) sudah melanggar. (Jadi) yang mana yang kita ikut? Yang berlaku. Jangan yang salah yang kita ikuti,” ujar Oesman, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (26/7/2018).
Pandangannya bahwa MK telah melakukan kesalahan dikuatkan oleh pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra. Yusril hadir bersama Oesman saat menyampaikan pandangannya.
Menurut Yusril, MK membuat kesalahan dan memunculkan ketidakpastian hukum karena putusannya berlaku surut. Padahal, mengacu Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, putusan MK tidak berlaku surut.
Dia melihat putusan berlaku surut karena putusan MK melahirkan syarat baru bagi bakal calon anggota DPD ketika proses pendaftaran, kemudian verifikasi dan pengumuman hasil verifikasi, bakal calon telah usai, 19 Juli 2018.
Selain itu, putusan MK juga dinilai telah melampaui kewenangan. Ini terlihat dari pertimbangan yang menyatakan, calon anggota DPD yang merangkap sebagai pengurus partai bisa tetap maju sebagai calon sepanjang telah mengundurkan diri dari kepengurusan partai.
“MK tidak dapat memberikan semacam perintah atau arahan kepada suatu lembaga untuk melakukan tindakan tertentu seperti arahan ke KPU dalam pertimbangan hukum itu,” kata Yusril.
Oleh karena itu, arahan ke KPU itu masuk dalam pertimbangan dan bukan diktum atau keputusan MK. Menurut dia, KPU tidak perlu mematuhinya.
KPU juga tak perlu mengubah Peraturan KPU (PKPU) Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD. Sebab, PKPU dibentuk mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dan UU ini konstitusional sebelum diputus oleh MK bertentangan dengan konstitusi.
PKPU, menurut Yusril, masih sah berlaku sebagai norma hukum sekalipun ada putusan MK tersebut. “PKPU tidak otomatis gugur. PKPU baru gugur jika dinyatakan bertentangan dengan norma undang-undang oleh Mahkamah Agung atau dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh KPU sendiri,” jelasnya.
Atas pertimbangan-pertimbangan tersebut, dia mendesak agar KPU tidak memberlakukan putusan MK itu di Pemilu 2019. Namun putusan baru diberlakukan untuk Pemilu 2024.
“Kalaupun KPU tetap memasukkan putusan MK itu di PKPU, PKPU tersebut tak bisa berlaku surut. Maka tak ada pilihan kecuali menyebut proses yang telah berlangsung sudah sah, dan kalau mau diberlakukan ya pada Pemilu 2024,” tambah Yusril.
Oesman pun mendesak agar KPU memberlakukan putusan MK itu di Pemilu 2024. Jika KPU memaksakan memberlakukannya di Pemilu 2019, dia melihat KPU sama dengan MK, telah melanggar hukum.
“KPU selama ini kan independen. Dalam membuat pengaturan soal kepemiluan, KPU tak bisa diintervensi. Jadi kalau MK telah berbuat keliru, harus diluruskan (oleh KPU), dan itu sah-sah saja karena KPU tidak bisa diintervensi,” kata Oesman.