Hingga Kamis (26/7/2018) sore, Jalan Sultan Alauddin, tepat di depan Kampus Universitas Muhammadiyah Makassar, masih macet. Kemacetan terjadi sejak siang saat puluhan mahasiswa berunjuk rasa menyikapi berbagai persoalan terkini, termasuk rencana penjualan aset Pertamina.
Selain menggunakan badan jalan untuk berorasi, mahasiswa juga membakar ban di tengah jalan. Kemacetan kian parah karena mahasiswa juga menahan mobil truk pengangkut garam yang kemudian dijadikan panggung orasi.
”Kami turun ke jalan agar masyarakat tahu bahwa keadaan Indonesia tidak sedang baik. Banyak persoalan, termasuk ekonomi, yang tidak diurus dengan baik,” kata Amri Amrullah, mahasiswa Universitas Muhammadiyah berorasi.
Beberapa jam sebelumnya, Satuan Aksi Pelajar Mahasiswa Pemuda Pancasila juga menggelar aksi. Berasal dari berbagai perguruan tinggi di Makassar, mereka berunjuk rasa di jembatan layang Makassar. Isu yang dibawa menolak gugatan uji materi syarat calon wakil presiden.
Aksi dipimpin Hasrul Kaharuddin dari Universitas Muslim Indonesia. Sudah satu dekade ia aktif turun ke jalan menyuarakan berbagai isu. ”Bagi saya, ’parlemen jalanan’ masih jadi tempat yang bagus untuk menyuarakan aspirasi. Tentu saja pola kami sudah berubah. Kalau dulu orang mengistilahkan aksi mahasiswa itu anarkis, sekarang kami lebih ke aksi damai,” kata Hasrul.
Jika lebih dari 10 tahun terakhir gerakan mahasiswa Makassar terkenal dengan aksi yang kerap berujung ricuh, penangkapan aktivis, dan sangat vokal, kini terjadi perubahan. Sebagian kalangan menyebut perubahan ini karena mahasiswa telah beradaptasi dengan perubahan dunia, termasuk teknologi.
Perkembangan teknologi dan media sosial diakui sejumlah aktivis turut mengubah pola gerakan mahasiswa. Menggunakan media sosial kini menjadi salah satu sarana menyebarkan aspirasi dan pemikiran kritis.
”Kami sadar bahwa dalam gerakan yang menjadi inti adalah pesannya sampai. Kalau dengan membuat sesuatu menjadi viral dan sampai kepada pengambil kebijakan, kenapa tidak?” kata Ghalib Al Idrus, aktivis Mahasiswa Universitas Islam Negeri Makassar, yang juga pengurus HMI Badko Sulselbar.
Perubahan juga terjadi akibat kian banyaknya alternatif kegiatan kampus yang membuat perhatian mahasiswa beralih. Di Universitas Hasanuddin (Unhas), misalnya, berbagai kegiatan, seperti kesenian, olahraga, dan diskusi, membuat aksi mahasiswa tak lagi segarang dulu.
Aktivitas Search and Rescue (SAR) Unhas, misalnya, yang terjun langsung melakukan evakuasi dan penyelamatan korban bencana, juga menjadi salah satu kegiatan yang diminati mahasiswa. Belum lagi berbagai ajang lain seperti kontes robot.
Wakil Rektor III Unhas Bidang Kemahasiswaan Arsunan Arsin mengakui, banyaknya mahasiswa yang lebih aktif dalam kegiatan akademik dan kegiatan ekstra membuat gerakan mahasiswa tak lagi seramai dulu.
Ada kebanggaan tersendiri saat meraih prestasi akademik dan kegiatan lain. ”Namun, negatifnya, kesibukan dengan kegiatan akademik membuat hubungan sosial mereka agak renggang. Tapi ini akan kami perbaiki,” ujarnya.
Diskusi
Kajian dan diskusi kelompok juga meningkat, tak hanya di tingkat universitas, tapi hingga kelompok kecil. Kajian di antaranya terkait kebijakan publik, yang kerap juga menjadi bahan unjuk rasa. Soal agama, termasuk khilafah, juga jadi bahan kajian. ”Kami tetap memantau soal itu,” kata Arsunan.
Di Malang, Jawa Timur, Ketua Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Malang Ragil Setyo Cahyono mengatakan, radikalisme merupakan salah satu isu yang menarik perhatian akhir-akhir ini. ”Bagaimana kita sebagai generasi milenial yang banyak menghabiskan waktu di media sosial sementara di dalamnya banyak beredar hoaks, radikalisme, hingga politik yang menggunakan isu SARA dan ujaran kebencian,” ucapnya.
Adapun di Yogyakarta, Presiden BEM Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Romli Muallim mengungkapkan, ada tiga hal penting yang mereka usung, yaitu kebudayaan, kebangsaan, dan keislaman. Ketiga hal itu diformulasikan menjadi upaya untuk membuat mahasiswa sebagai salah satu penjaga keutuhan bangsa. ”Ketiga hal itu mampu menyatukan bangsa,” kata Romli.
Zaman boleh berubah. Namun, mahasiswa tetap mampu bersikap kritis memperjuangkan nasib rakyat meski tidak lagi segarang dulu. (NCA/WER)