JAKARTA, KOMPAS -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menolak pembentukan Tim Gabungan Terpadu untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Sejumlah pihak berharap jalan yudisial yang dipilih untuk menyelesaikan kasus tersebut secara adil.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bersama dengan pihak-pihak terkait masuk dalam Tim Gabungan Terpadu yang dibentuk oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto. Tim Gabungan Terpadu tersebut dibentuk untuk mengatasi persoalan pelanggaran HAM masa lalu.
Komnas HAM menyayangkan pembentukan Tim Terpadu yang kemungkinan akan menyelesaikan pelanggaran kasus HAM berat masa lalu melalui jalur non yudisial. Ide pembentukan Tim Terpadu itu menurut Menurut Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam tidak sesuai dengan hasil pembicaraan antara Komnas HAM dengan Presiden Joko Widodo.
Kata Choirul Presiden Joko Widodo menghormati dan mendukung sikap Komnas HAM untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat melalui jalur yudisial. Hal tersebut sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tersebut, mekanisme penyelesaian kasus HAM berat harus dilakukan di lingkungan Peradilan Umum.
"Ide penyelesaian kasus di luar hukum dalam koridor negara hukum yang demokratis bukan sikap yang baik," kata Choirul, di Jakarta Selasa (31/7/2018).
Merespon ide pembentukan Tim Terpadu Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar mengatakan Wiranto terkesan mengotakkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melalui jalur non yudisial. Menurut Wahyudi tidak tepat bila Menkopolhukam langsung memberikan pilihan untuk menempuh jalur non yudisial. Hal itu menjadi terasa seolah-olah jalur non yudisial adalah jalan satu-satunya.
"Sebagian kasus masih memungkinkan untuk dibuka di jalur pengadilan. Korban juga menghendaki pengungkapan kebenaran, berhak juga untuk mendapatkan pemulihan," ujar Wayudi.
Lebih lanjut Wahyudi juga menyesalkan pembentukan Dewan Kerukunan Nasional yang disebutkan Wiranto akan meyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat melalui jalur adat.
Wahyudi juga mempertanyakan kejelasan indikator jalur non yudisial yang dimaksudkan Wiranto. "Apakah yang dimaksud non yudisial itu ketemuan, salaman, cipika-cipiki, terus sudah. Atau rekonsiliasi ? Bagaimana ? Ini jadi serba tidak jelas," kata Wahyudi.
Tanggapan Keluarga Korban
Para korban mengecam pembentukan Tim Terpadu maupun Dewan Kerukunan Nasional. Bagaimanapun para keluarga tetap ingin menempuh jalur peradilan terlebih dahulu.
"Yang penting dibawa ke pengadilan dulu. Biar jelas siapa pelakunya. Masalah nanti hasilnya bagaimana, mau diselesaikan bagaimana silahkan," papar keluarga korban Semanggi I, Maria Katarina Sumarsih saat dihubungi melalui telepon.
Maria dan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) mengatakan bahwa pihaknya telah melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo pada 5 Juli 2018 lalu yang menyatakan sikap keberatan mereka terhadap pembentukan DKN.
Penyelesaian kasus ini menurut Choirul merupakan tantangan besar bagi presiden. Presiden harus memastikan proses yustisia berjalan dengan baik sesuai prinsip hukum HAM agar keadilan segera terwujud.
Komnas HAM, ELSAM dan keluarga korban mendorong Presiden Jokowi untuk segera memerintahkan Kejaksaan Agung melakukan penyidikan sehingga kasus ini tidak semakin berlarut-larut.
"Dulu kan Jokowi pernah janji akan membentuk pengadilan HAM Ad Hoc, bentuk saja dulu itu," kata Wahyudi.
Wiranto yang ditemui Kompas seusai menggelar rapat koordinasi dengan Komnas HAM, Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kantor Staf Presiden, Sekretariat Kabinet dan Sekretariat Negara pada Senin (16/7/2018) mengatakan upaya yang sedang dijalani saat ini adalah salah satu bukti keseriusan pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. (KRISTI DWI UTAMI)