Janggal, Anak Korban Pemerkosaan Divonis Bersalah karena Aborsi
Oleh
Irman Tambunan
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Kasus yang menimpa WA (15), anak perempuan korban pemerkosaan di Kabupaten Batanghari, Jambi, yang divonis 6 bulan penjara atas dakwaan aborsi, dinilai penuh kejanggalan. WA yang merupakan korban pemerkosaan justru menjadi terdakwa. Negara kini dituntut mengembalikan hak WA yang menjadi korban pemerkosaan agar mendapatkan perlindungan hukum.
Sejumlah kejanggalan itu di antaranya korban tidak mendapatkan bantuan hukum selama masa penyidikan hingga menjelang dimulainya persidangan. Kehadiran penasihat hukum baru ada pada hari pertama sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Negeri Muara Bulian. ”Ini berarti ada cacat hukum dalam penanganan kasus ini,” kata peneliti hukum Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, Kamis (9/8/2018).
Berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak disebutkan bahwa pejabat yang melakukan penangkapan dan penahanan wajib memberikan informasi mengenai hak atas bantuan hukum kepada tersangka. Menurut dia, itu tidak dilakukan penegak hukum yang menangani kasus tersebut.
Sebagaimana diketahui, WA adalah korban pemerkosaan abang kandungnya, AR (17), di Kabupaten Batanghari, Jambi. Ia mengalami ancaman kekerasan oleh AR hingga pemerkosaan itu berlangsung sembilan kali.
Kasusnya terkuak setelah ada temuan jasad bayi di sebuah kebun sawit, yang kemudian diakui bayi itu milik WA dan AR. Belakangan, WA dituduh melakukan aborsi meski dirinya berulang kali mengaku mengalami keguguran setelah minum jamu kunyit buatan ibunya dan memijat perutnya dengan minyak angin. Dalam persidangan, ia divonis 6 bulan penjara atas dakwaan aborsi. Sementara abangnya, AR, divonis 2 tahun penjara.
Maidina mengemukakan dalam persidangan, WA juga tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan pembelaan. Dalam jadwal persidangan, vonis langsung ditetapkan majelis hakim satu hari setelah pembacaan tuntutan. Padahal, sesuai aturan, terdakwa berhak mengajukan pembelaan.
Penasihat hukum dalam hal ini juga wajib menjalankan tugasnya untuk kepentingan membela terdakwa. Itu mengacu Pasal 14 pada undang-undang tadi, yang menyebut soal jaminan minimal terdakwa membela diri secara langsung atau melalui pembela. Dalam hal ini, pihaknya mendapati adanya indikasi bantuan hukum tidak efektif dan tidak kredibel.
Timnya juga mendapati korban ditahan melebihi masa tahanan yang diatur hukum. Sesuai aturan, masa penahanan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan persidangan yang diatur adalah maksimal 15 hari, 10 hari, dan 25 hari. Faktanya, WA ditahan sampai 19 hari.
”Terdapat 4 hari masa penahanan yang melebihi masa penahanan maksimal menurut Sistem Peradilan Pidana Anak,” katanya. Sesuai aturan, jika penahanan diketahui melebihi masa yang diatur, anak harus dikeluarkan demi hukum.
Penasihat Hukum WA, Damai Idianto, menyatakan, dirinya telah menyampaikan memori banding kepada Pengadilan Tinggi Jambi pada 27 Juli lalu. ”Saat ini berkas banding masih dipelajari di pengadilan tinggi,” katanya.
Sebelumnya, Listyo Arif Budiman dari Humas Pengadilan Negeri Muara Bulian mengatakan, dalam persidangan, WA mengaku memijat perutnya dengan minyak angin. Atas perbuatannya, WA dinyatakan terbukti melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 77a Ayat 1 dengan ancaman hukuman hingga 10 tahun. Sementara AR terbukti bersalah melakukan pemerkosaan.