Menakar Dampak “Ekor Jas” ke Elektabilitas
Setelah kedua pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum, partai politik akan berlomba mengasosiasikan partainya dengan para bakal calon untuk mendapatkan efek ekor jas atau coattail effect. Namun, benarkah calon presiden bisa mengerek perolehan suara partai politik pengusung di Pemilu Legislatif 2019?
Dua pasangan bakal calon, yakni Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin serta Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno mendaftar di hari terakhir, Jumat (10/08/2018). Sebenarnya, jauh hari itu, sebagian pengurus parpol sudah mengasosiasikan parpol dengan sosok Joko Widodo dan Prabowo Subianto yang digadang-gadang akan bertarung pada Pemilu 2019.
Parpol akan berlomba mengasosiasikan partainya dengan para bakal calon untuk mendapatkan efek ekor jas
Ada harapan partai politik, asosiasi partai dengan kandidat dalam pemilihan presiden bisa menimbulkan efek ekor jas. Apalagi, pada Pemilu 2019, untuk pertama kali, pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif akan diselenggarakan di hari yang sama.
Mark J Glantz dalam artikel “Coattail Effect” di Encyclopedia of Social Media and Politics, mendefinisikan efek ekor jas sebagai kemampuan kandidat yang populer dalam menarik dukungan elektoral bagi kandidat lain dalam partai politik yang sama. Lebih spesifik, efek ekor jas melihat kecenderungan kandidat presiden membantu kandidat dari partai politiknya dalam memenangi kontestasi elektoral, misalnya di lembaga legislatif.
Menghadapi Pemilu 2019, tekanan bagi partai semakin kuat. Jumlah partai politik yang bertarung di Pemilu 2019 bertambah menjadi 16 parpol nasional, dari pemilu sebelumnya 12 parpol nasional. Ambang batas parlemen juga naik dari 3,5 persen pada Pemilu 2014, menjadi 4 persen. Dengan kata lain, partai yang tidak bisa meraih 4 persen dari suara sah nasional bakal tak bisa masuk parlemen. Karena itu, semua insentif elektoral yang bisa membantu partai politik meraih suara pemilih akan dimanfaatkan.
Pada pemilu serentak, ada insentif elektoral berupa pencantuman tanda gambar partai politik yang mengusulkan pasangan calon presiden dalam surat suara pemilihan presiden dan wakil presiden. Hal ini memudahkan pemilih mengasosiasikan capres dan cawapres dengan parpol, membuka pintu bagi munculnya efek ekor jas. Heather Stoll dalam Presidential Coattails: A Closer Look yang dimuat di Jurnal Party Politics (2015) menyebut pemilihan presiden memberi efek “tarikan” bagi pemilihan legislatif karena kampanye pemilihan presiden menarik perhatian media nasional, kandidat legislatif, elite politik, dan juga para pemilih.
Pemilihan presiden memberi efek “tarikan” bagi pemilihan legislatif
Para pemilih umumnya menggunakan informasi yang didapat dari kampanye pemilihan presiden yang digelar bersamaan dengan pemilihan legislatif, sebagai jalan pintas untuk memandu mereka memilih kandidat legislatif. Hanya saja, efek ekor jas tidak selalu muncul dan memberi dampak sama.
David Samuels dalam Concurrent Elections, Discordant Results: Presidentialism, Federalism, and Governance in Brazil dalam Jurnal Comparative Politics (2000) menuturkan, ada tiga tahapan dalam menghasilkan efek ekor jas. Pertama, kandidat pada pemilihan legislatif menimbang-nimbang apakah kandidat pada pemilihan presiden bisa membantu mereka memenangkan pemilihan. Dari penilaian itu, kandidat legislatif kemudian berupaya mengasosiasikan atau tidak mengasosiasikan kampanye dengan kandidat pemilihan presiden.
Terakhir, jika kandidat pada pemilihan eksekutif itu populer dan calon anggota legislatif berkampanye dengan mahir, pemilih akan merespons kampanye sang kandidat. Namun, Samuels memberi catatan, harus ada koordinasi dan “ketersambungan” kampanye antara kandidat dari kedua jenis pemilihan itu. Tanpa itu, maka tak akan muncul efek tarikan jas.
Lantas bagaimana dengan konteks Pemilu 2019? Ada pengamat politik yang skeptis dan ada pula yang optimistis terhadap kemungkinan munculnya efek tarikan ekor jas. Peneliti yang cenderung skeptis memandang sistem elektoral di Indonesia bisa mereduksi efek tarikan ekor jas.
Sebagai catatan, pemilu legislatif di Indonesia menerapkan sistem proporsional daftar terbuka yang artinya, suara ditentukan secara proporsional berdasar perolehan suara kandidat. Persaingan berlangsung tidak hanya antarkandidat beda partai politik, tetapi juga antarkandidat dalam satu partai politik. Sebagai pembanding, di Amerika Serikat, pemilihan anggota senat dan dewan perwakilan rakyat (house of representatives) menggunakan sistem first-past-the-post (FPTP) atau sistem distrik, di mana tiap parpol mengusulkan satu kandidat untuk setiap distrik dan pemenang ditentukan oleh peraih suara terbanyak.
Koordinator Program Tata Kelola Pemilu Universitas Sam Ratulangi Manado Ferry Daud Liando dihubungi dari Jakarta, Jumat (11/08/2018) menilai efek tarikan jas tidak akan terlalu berpengaruh dalam konteks Pemilu 2019 karena dalam pemilihan legislatif di Indonesia, pemilih cenderung memilih kandidat, bukan partai politik. Sementara itu, pada pemilihan presiden dan wakil presiden, kandidat diusulkan oleh gabungan partai politik.
Dalam pemilihan legislatif di Indonesia, pemilih cenderung memilih kandidat, bukan partai politik.
Pasangan calon Prabowo-Sandiaga, misalnya diusulkan oleh empat parpol dan didukung satu parpol. Sementara itu, Jokowi-Ma’ruf diusulkan tujuh parpol dan didukung dua parpol. Pemisahan pengertian antara parpol pengusul dan pengusung ini disebabkan dalam regulasi, parpol yang bisa jadi pengusul hanya parpol peserta pemilu terakhir, yakni Pemilu 2014.
“Jika masing-masing satu parpol mengusung calon presiden, sepertinya efek ekor jas baru berpengaruh,” kata Ferry.
Karena penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif bersamaan baru akan pertama kali terjadi pada Pemilu 2019, belum ada data empiris untuk mengukur implikasi efek ekor jas. Peneliti politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta Arya Fernandes menilai efek ekor jas akan tetap terasa pada Pemilu 2019, tetapi seberapa jauh pengaruhnya belum bisa diperkirakan. Sebab, ada banyak faktor yang bisa memengaruhi keterpilihan anggota legislatif, seperti kapasitas calon, daerah pemilihan, mesin partai politik, dan kedekatan calon dengan pemilih.
“Pemilu 2019 akan sangat penting dalam studi politik ke depan karena ini pengalaman pertama. Tidak hanya pelajaran bagi akademisi, tetapi juga bagi partai politik,” kata Arya.
Belum ada data empiris untuk mengukur implikasi efek ekor jas.
Jika kemudian efek ekor jas itu muncul, partai mana yang akan mendapat dampak terbesar? “Bagi saya orang kampus, ini menarik untuk diamati. Untuk Jokowi, partai apa yang paling banyak menikmati ikutan suara, juga Prabowo partai apa,” kata Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya Ramlan Surbakti.
Ramlan memperkirakan, partai politik yang menikmati efek jas dari kandidat presiden Prabowo Subianto ialah Partai Gerindra karena Prabowo merupakan ketua umum partai tersebut. Dia juga menilai, tujuan Prabowo untuk bertarung dalam pilpres selain untuk menjadi presiden juga untuk membuat Partai Gerinda mendapat imbas dari pencalonannya.
Sementara itu, terkait potensi imbas pencalonan Jokowi, Ramlan menuturkan, survei menunjukkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sejauh ini menonjol. Namun, hal ini masih bisa bisa berubah, tergantung sejauh mana PDI-P berani mengandalkan Jokowi dalam kampanye. Selain PDI-P, partai lain juga tetap punya potensi mendapat dampak, tetapi tergantung pada penampilan tim kampanye. Selain itu, juga apakah visi, misi, dan program partai politik untuk pemilihan legislatif sama dengan visi misi kandidat pada pemilihan presiden.
Ramlan menuturkan, dampak efek jas akan lebih terlihat jika desain keserentakan pemilu tidak dalam bentuk lima kotak suara seperti saat ini, yakni pemilihan presiden, pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, serta DPRD kabupaten/kota. Namun, pemilu dibagi dalam dua termin, yakni antara serentak nasional, yakni pemilihan presiden, anggota DPR dan DPD, serta serentak daerah antara pemilihan gubernur, bupati/walikota, serta DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
“Kalau pemilu nasional, pertimbangan memilih partai juga dipengaruhi calon presiden. Kalau di daerah, orang memilih DPRD tergantung pada calon kepala daerahnya,” kata Ramlan.
Dengan berbagai kompleksitas itu, satu hal yang pasti. Partai politik tetap harus bekerja keras, tak bisa hanya mengandalkan coattail effect dari calon presiden dan wakil presiden.