JAKARTA, KOMPAS – Jajaran hakim diminta berhati-hati dalam memutuskan kasus-kasus dugaan penodaan agama yang berpotensi mengancam toleransi dan mendiskriminasikan kelompok minoritas. Baru-baru ini, kasus penodaaan agama yang diduga terjadi di Tanjung Balai, Sumatera Utara, dibawa ke pengadilan. Kasus itu pada tahun 2016 lalu sempat memicu pengrusakan tempat-tempat ibadah.
Pada 13 Agustus 2018, Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Balai, Sumut, menyidangkan perkara dengan terdakwa Meiliana (44) atas dugaan penodaan agama. Meiliana dituntut jaksa 1 tahun 6 bulan karena dinilai telah dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Ketentuan itu diatur di dalam Pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
“Pengadilan harus mengelaborasi secara tajam mengenai niat untuk menodai agama dalam peristiwa tersebut. Dalam beberapa kasus yang menggunakan Pasal 156a KUHP, pengadilan tidak jelas membuktikan tindakan apa yang dianggap memenuhi unsur niat untuk menodai agama tersebut,” kata Erasmus Napitupulu, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Jumat (17/8/2018) di Jakarta.
Kelompok masyarakat sipil menyoroti persidangan di PN Tanjung Balai karena Pasal 156a KUHP yang digunakan dalam perkara itu dianggap sebagai pasal karet yang kerap kali merugikan kelompok minoritas. Unsur-unsur di dalam pasal tersebut tidak mudah dirinci karena bentuk perbuatan dan korbannya sangat lentur.
Menurut Erasmus, perkara ini pun sebelumnya dianggap selesai, tahun 2016. Pada 29 Juli 2016, Meiliana mengeluhkan suara adzan masjid dan meminta agar volume mikrofon di masjid dikecilkan suaranya. Pihak masjid yang keberatan dengan permintaan itu akhirnya menemui Meiliana. Mediasi dilakukan di kantor kelurahan Tanjung Balai. Namun, setelah mediasi, beredar berita melalui media sosial yang isinya bernuansa SARA dan provokatif. Beredarnya pemberitaan itu disusul dengan terjadinya pembakaran vihara, serta pengrusakan sejumlah tempat ibadah lainnya di Tanjung Balai.
ICJR berharap hakim mengkaji perkara-perkara penodaan agama dengan jernih, dan tidak semata-mata mengikuti konstruksi perkara yang dibangun oleh polisi dan kejaksaan. “Jangan sampai hakim merasa tidak enak dengan polisi dan jaksa bilamana tidak sepakat dengan konstruksi perkara yang mereka bangun. Hakim memiliki kewajiban menegakkan keadilan dan melindungi hak asasi manusia,” katanya.
Putusan terhadap perkara di Tanjung Balai ini, menurut Erasmus, berpotensi menjadi salah satu tonggak dalam penggunaan pasal penodaan agama. “Kesalahan dalam memutus perkara akan menjadi preseden buruk bagi iklim toleransi di masyarakat, serta merugikan kepentingan kelompok minoritas yang seharusnya dilindungi. Pasal 156a KUHP selama ini merupakan pasal karet yang digunakan lebih banyak pada kelompok minoritas, utamanya minoritas agama,” ujarnya.
Fenomena intoleransi
Direktur SETARA Institute Hendardi mengingatkan, majelis hakim agar sepenuhnya meletakkan hukum sebagai instrumen keadilan yang melampaui tuntutan kelompok intoleran dan tekanan massa. “Hakim harus mencegah menguatnya fenomena supremasi intoleransi dalam kasus-kasus penodaaan agama. Pengadilan tidak boleh tunduk pada tekanan kelompok intoleran,” ujarnya.
SETARA Institute mencatat, hingga akhir 2017 terdapat 116 kasus penodaan agama. Penyelesaian perkara-perkara itu hampir seluruhnya bermasalah.
Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Abdullah mengatakan, perkara itu sedang ditangani PN Tanjung Balai. “Serahkanlah pada proses hukum yang sedang berjalan. Salah bila ada anggapan kalau suatu perkara telah dibawa ke pengadilan, maka terdakwa atau orang yang diadili itu pasti diputus bersalah. Bisa saja putusannya bebas. Hakim dalam memutuskan suatu perkara pasti menimbang segala sisi,” katanya.
Tiga unsur harus dijadikan pegangan hakim dalam memberikan keadilan substansial, yakni legal justice, moral justice, dan social justice. Menurut Abdullah, ketiganya itu ditakar supaya putusan hakim benar-benar memberikan keadilan yang substantif. Legal justice berkaitan dengan norma-norma materiil dan formil dalam suatu perkara, sedangkan moral justice menimbang pada nilai-nilai etika dan moral dalam perkara tersebut. Terakhir, hakim akan mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat terkait dengan perkara itu.
“Hakim tentu seharusnya sensitif mendengar gejolak sosial di masyarakat. Kalau memang sebelumnya ada perdamaian antara terdakwa dengan pihak lainnya yang berkaitan dalam perkara itu, akta perdamaian itu bisa saja diserahkan kepada hakim sebagai salah satu bukti,” katanya.