JAKARTA, KOMPAS Mahkamah Konstitusi meneruskan pemeriksaan terhadap 13 perkara sengketa hasil Pilkada 2018 dari total 71 perkara yang diterima. Dari 13 perkara itu, tujuh di antaranya karena memenuhi ambang batas selisih hasil pilkada. Enam perkara lain tak memenuhi ambang batas tersebut, tetapi tetap dilanjutkan ke tahap pembuktian karena ada dugaan pelanggaran tahapan pilkada.
Peneliti Perhimpunan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, mengatakan, adanya enam perkara yang diloloskan MK ke tahap berikutnya menunjukkan hakim telah memiliki keyakinan dari pemeriksaan pendahuluan bahwasanya ada masalah dalam penyelenggaraan pilkada.
”Belajar dari Pilkada 2017, MK juga meloloskan perkara dari daerah-daerah yang selisih suaranya melebihi ambang batas. Pertimbangan hakim biasanya karena ada pelanggaran yang bersifat masif dan memengaruhi hasil atau karena ada tahapan prosedur pelaksanaan pilkada yang tidak dilakukan oleh penyelenggara,” kata Fadli, Rabu (22/8/2018), di Jakarta.
Enam perkara itu berasal dari Kabupaten Mimika (lima perkara) dan Kabupaten Paniai (satu perkara). Keenam perkara itu tidak memenuhi syarat Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pasal itu menyebutkan, sengketa bisa diajukan jika selisih perolehan suara paling banyak 1-2 persen (bergantung pada jumlah penduduk).
Sementara tujuh perkara yang memenuhi ketentuan ambang batas selisih hasil pilkada itu berasal dari Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kabupaten Bolaang Mongondow, Kabupaten Deiyai, Kabupaten Sampang, Kota Cirebon, dan Kota Tegal.
Juru Bicara MK Fajar Laksono Soeroso menuturkan, MK pada prinsipnya tetap berpegang pada ketentuan UU dalam memeriksa dan memutus sengketa pilkada. UU mengharuskan MK melihat ambang batas selisih perolehan suara. Kendati demikian, pada praktiknya MK juga berperan untuk memberikan keadilan substantif jika pilkada ternyata menyimpan persoalan dalam penyelenggaraan. Persoalan itu, jika dibiarkan, akan merusak praktik demokrasi di daerah.
”Hakim memiliki pertimbangan mengapa ada enam dari 13 perkara yang diteruskan ke tahap pemeriksaan saksi dan ahli meski perkara itu tak sesuai dengan Pasal 158. Pada prinsipnya MK juga ingin memberikan keadilan substantif dalam pemeriksaan sengketa pilkada ini,” ujar Fajar.
Pemindahan lokasi TPS
Kuasa hukum pemohon dari Kabupaten Paniai, M Nursal, mengatakan, terjadi pelanggaran prosedur dalam pilkada di kabupaten tersebut. Pemohon mendalilkan adanya pemindahan tempat pemungutan suara (TPS) ke distrik lain serta dilakukannya pemungutan suara yang tak berbasis kesepakatan masyarakat adat di beberapa distrik. Selain itu, pemohon juga mempersoalkan netralitas penyelenggara pilkada.
”Ketiga persoalan itu telah kami laporkan kepada Panwaslu Kabupaten Paniai dan dinyatakan terbukti serta direkomendasikan untuk dilakukan pemungutan suara ulang (PSU) di sembilan distrik. Namun, KPU tidak melakukan PSU dengan alasan sudah dilakukan rekapitulasi suara,” urainya.
Belajar dari Pilkada 2017, MK juga meloloskan perkara dari daerah-daerah yang selisih suaranya melebihi ambang batas. Pertimbangan hakim biasanya karena ada pelanggaran yang bersifat masif dan memengaruhi hasil atau karena ada tahapan prosedur pelaksanaan pilkada yang tidak dilakukan oleh penyelenggara
MK juga menggelar persidangan untuk dua dari 13 perkara yang dilanjutkan ke tahap pembuktian pada 20-21 Agustus lalu. Dua perkara itu diajukan oleh pasangan calon pada Pilkada Maluku Utara dan Pilkada Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Dalam sidang lanjutan perkara sengketa Pilkada Maluku Utara, paslon nomor urut 3, Abdul Gani Kasuba-M Al Yasin Ali, mendalilkan ada enam desa di Jailolo Timur, Kabupaten Halmahera Utara, yang belum menyelenggarakan pemungutan suara, 27 Juni 2018. Menurut pemohon, warga di enam desa itu enggan menggunakan hak pilihnya karena lokasi pemungutan suara tidak sesuai dengan domisili yang tercantum pada kartu tanda penduduk (KTP) mereka. Warga enam desa itu berdomisili di Halmahera Barat, tetapi mereka dimasukkan ke dalam daftar pemilih di Halmahera Utara.