JAKARTA, KOMPAS – Budaya dan mental para pejabat di daerah yang melanggengkan suap membuat Komisi Pemberantasan Korupsi kembali memilih melakukan operasi tangkap tangan. Para pejabat hingga penegak hukum, termasuk hakim di Sumatera Utara bukan hanya sekali berurusan dengan lembaga anti rasuah.
Terakhir kali, KPK mengumumkan 38 orang anggota DPRD Sumatera Utara sebagai tersangka dalam kasus suap pengesahan APBD dan pengajuan hak interpelasi pada masa Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho. Kasus ini juga menjerat Gatot yang lebih dulu menjadi tersangka pada 2015. Bahkan Gatot juga menjadi tersangka pemberi suap kepada Ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro, serta dua hakim PTUN Medan Dermawan Ginting dan Amir Fauzi.
Di tengah upaya membenahi jajaran pemerintah daerah dan aparat penegak hukum, empat hakim di Pengadilan Negeri Medan terjaring operasi tangkap tangan pada Selasa (28/8). Mereka adalah Marsudin Nainggolan yang merupakan Ketua Pengadilan Negeri Medan, Wahyu Prasetyo Wibowo merupakan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Medan, Sontan Merauke, dan Merry Purba.
“Diduga telah terjadi transaksi terkait penanganan perkara tindak pidana korupsi di Medan. Kami sudah ingatkan berulang kali agar tidak coba-coba untuk menerima suap dan korupsi. Berbagai aspek pencegahan sudah dilakukan KPK, bahkan ada Mahkamah Agung juga untuk hakim. Kami tidak pernah menargetkan daerah tertentu, karena sekarang semua daerah telah masuk program pencegahan,” kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan di Gedung KPK Jakarta, Selasa (28/8).
Dalam operasi kali ini, KPK menyita uang sebesar 13 ribu dollar Singapura. Uang tersebut diduga bukan yang pertama bagi keempat hakim yang menerima dari pemilik PT Erni Putra Terari yaitu Tamin Sukardi. Pengusaha tersebut menjadi terdakwa dalam kasus korupsi lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) PTPN2.
Tamin telah menjual tanah 74 hektar dari total luas 126 hektar yang merupakan aset negara tersebut kepada PT Agung Cemara Reality seharga Rp 236,2 miliar. Namun PT ACR tersebut baru membayar Rp132,4 miliar. Dalam putusan yang dibacakan majelis hakim pada Senin (27/8), Tamin dinyatakan bersalah dan divonis 6 tahun penjara meski hakim Merry berbeda pendapat.
Akan tetapi, lahan yang dipersoalkan dan dituntut jaksa untuk dikembalikan pada negara justru diputus berhak dikuasai Tamin dan tidak disita negara. Sementara itu, lahan 74 hektar tetap menjadi milik PT ACR.
Salah satu hakim yang ditangkap KPK yaitu Wahyu belakangan menjadi populer karena putusan yang dijatuhkannya terhadap warga Tanjung Balai, Meliana. Wahyu sebagai ketua majelis hakim menjatuhkan vonis 18 bulan penjara kepada Meliana atas perkara berkaitan dengan pengeras suara azan di masjid yang kemudian dimasukkan kategori sebagai penodaan agama.
Di sisi pemerintah daerah, sebanyak 11 kepala daerah di Provinsi Sumatera Utara ditindak KPK. Mereka adalah Gubernur Sumut Samsul Arifin dan Gatot Pujo Nugroho, Wali Kota Medan Abdillah, Wali Kota Pematang Siantar Robert Edison Siahaan, Wakil Wali Kota Medan Ramli Lubis, Bupati Mandailing Natal Hidayat Batubara, Bupati Nias Binahati Baeh, Bupati Nias Selatan Fahuwusa Laila, Bupati Tapanuli Tengah Bonaran Situmeang, Bupati Batubara OK Arya Zulkarnain, dan Bupati Labuhan Batu Pangonal Harahap.
Program pencegahan yang dilakukan KPK di belum sepenuhnya dijalankan dengan baik. Berdasarkan sistem informasi koordinasi dan supervisi pencegahan KPK, tindak lanjut rencana aksi untuk Provinsi Sumatera Utara baru terpenuhi 43,07 persen.
Secara terpisah, Juru Bicara Mahkamah Agung Suhadi memilih menunggu pengumuman resmi dari KPK untuk berkoordinasi dan mengambil tindakan lebih lanjut. Suhadi pun menyatakan akan menelaah perkara yang ditangani para hakim tersebut, serta perkara lain yang terkait masing-masing hakim.