JAKARTA, KOMPAS – Akuntabilitas peradilan menjadi sorotan setelah ditangkapnya empat hakim di Pengadilan Negeri Medan Kelas IA Khusus oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Selasa lalu. Komisi Yudisial sedang memetakan problem yang memicu berulangnya penangkapan hakim di Medan, Sumatera Utara, sebab selama ini daerah itu merupakan salah satu daerah yang terus dipantau oleh KY.
“Problem-problem sedang diidentifikasi, dan kami sedang memetakan penyebab hakim di Medan selalu rentan terhadap praktik-praktik suap atau korupsi. Tim KY sedang memeriksa pimpinan Pengadilan Tinggi Medan,” kata Ketua Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus, Rabu (29/8/2018) di Jakarta.
Jaja mengatakan, problem suap yang dialami oleh hakim terkait dengan putusannya merupakan persoalan akuntabilitas peradilan. Selama ini akuntabilitas itu sulit untuk ditakar karena hakim kerap kali menggunakan independensi hakim sebagai alasan untuk melindungi putusannya. Namun, ketika putusan tersebut diketahui dalam prosesnya cacat, hakim semata-mata tidak bisa berlindung di balik independensi.
“Walaupun hakim sudah memutus, dan dengan alasan independensi maka putusan itu harus dihargai. Namun, bila di belakang hari diketahui putusannya itu lahir karena proses yang tidak sesuai dengan ketentuan, dia sudah berlindung di balik independensi hakim. Putusan yang demikian itu menjadi tidak akuntabel,” kata Jaja.
Selasa (28/8/2018), KPK menangkap Ketua Pengadilan Negeri Medan Marsudin Nainggolan, Wakil Ketua PN Medan Wahyu Prasetyo Wibowo, serta dua hakim PN Medan, Sontan Merauke dan Merry Purba. Penyidik KPK juga membawa dua panitera pengganti PN Medan, yakni Oloan Sirait dan Elpandi, untuk diperiksa bersama empat hakim tersebut.
Dalam penangkapan ini, KPK menyita uang sebesar 130.000 dollar Singapura (Rp 1,39 miliar). Keempat hakim diduga bukan baru kali ini menerima uang dari pemilik PT Erni Putra Terari, yaitu Tamin Sukardi, yang tengah menjadi terdakwa perkara korupsi lahan eks hak guna usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II (Kompas, 28/8/2018).
Jaja mengatakan, kasus yang ditangani oleh keempat hakim tersebut pun sebenarnya dalam pantauan KY. Jaringan KY di Medan mengikuti persidangan tersebut. KY juga beberapa kali mengingatkan hakim-hakim di Medan agar mengikuti ketentuan kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH).
Kepala Badan Pengawasan MA Nugroho Setiadji mengatakan, pimpinan Pengadilan Tinggi Medan langsung diperiksa oleh Bawas MA, setelah empat hakim itu ditangkap KPK. “Tim sudah ke Medan, pemeriksaan sedang dilakukan,” katanya.
Nugroho mengatakan, pemeriksaan terhadap pimpinan PT Medan itu dilakukan dengan proporsional dan profesional. Ia menampik anggapan Bawas MA lebih mengutamakan korps hakim daripada menindak tegas hakim yang melanggar. “Tidak ada itu ewuh pakewuh, kalau itu yang dilakukan berarti tidak akan ada hakim yang dihukum. Buktinya, selama ini Bawas MA juga banyak menghukum hkim yang melanggar ketentuan. Bawas dalam menjalankan tugasnya mengikuti aturan,” ujarnya.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, salah satu hakim yang ditangkap, yakni Ketua PN Medan Marsudin Nainggolan, pernah menjadi hakim pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) di Jakarta dan Pekanbaru.
“Dalam catatan ICW, Marsudin pernah menangani sejumlah kasus korupsi dan divonis lebih rendah dari tuntutan jaksa. Korting vonis yang diberikan Marsudin berkisar 40 hingga 75 persen. Kasus korupsi yang pernah dipimpin oleh Marsudin antara lain mantan Bupati Bengkulu Murnan Effendi, Wali Kota Semarang nonaktif Soemarmo Hadi Saputro, Ketua DPRD Jawa Tengah nonaktif Murdoko dan mantan Bupati Bengkalis Herliyan Saleh,” kata peneliti ICW Emerson Yuntho.