JAKARTA, KOMPAS - Penyadapan oleh aparat penegak hukum masih menjadi perdebatan. Di satu sisi, penyadapan merupakan metode efektif untuk mengungkap kasus. Namun, di sisi lain, penyadapan juga dapat dianggap sebagai tindakan negara yang memasuki dan mengganggu privasi seseorang.
”Menurut Mahkamah Konstitusi, tak adanya aturan baku penyadapan memungkinkan terjadinya penyimpangan. Maka, pembatasan penyadapan diperlukan untuk melindungi privasi seseorang,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Benny Riyanto saat membacakan sambutan tertulis Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dalam seminar bertema ”Penyadapan di Dalam Negara Hukum”, Rabu (29/8/2018), di Jakarta.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU/VIII/2010, lanjut Benny, menyatakan bahwa penyadapan merupakan bentuk pelanggaran terhadap kerahasiaan pribadi yang bertentangan dengan UUD 1945. Namun, kerahasiaan pribadi merupakan bagian dari HAM yang dapat dibatasi oleh undang-undang (UU) sesuai dengan Pasal 28J Ayat 2 UUD 1945.
Persoalannya, aturan hukum penyadapan masih tersebar di berbagai UU. Selain itu, setiap UU yang memberikan kewenangan dan mengatur penyadapan belum memiliki tata cara yang lebih jelas mengenai penyadapan. Misalnya, mengenai prosedur pemberian izin, batas kewenangan penyadapan, dan lembaga mana yang berhak untuk menyadap.
Persoalannya, aturan hukum penyadapan masih tersebar di berbagai UU. Selain itu, setiap UU yang memberikan kewenangan dan mengatur penyadapan belum memiliki tata cara yang lebih jelas mengenai penyadapan
Payung hukum
Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Prija Djatmika, mengatakan, ada 16 UU yang memuat ketentuan penyadapan. Hal ini menunjukkan UU yang mengizinkan penyadapan di Indonesia bergantung pada kasus yang dibahas.
”Aturan penyadapan Indonesia terkesan campur aduk tanpa ada mekanisme kontrol yang pasti. Padahal, umumnya di negara lain, izin penyadapan hanya dimiliki satu otoritas,” kata Prija.
Menurut Direktur Perancangan Peraturan Perundang-Undangan, Kementerian Hukum dan HAM, Dhahana Putra, beberapa UU telah menjadi dasar hukum bagi lembaga negara untuk menyadap kasus pidana. Namun, ada perbedaan kewenangan penyadapan bagi setiap lembaga negara.
Aturan penyadapan Indonesia terkesan campur aduk tanpa ada mekanisme kontrol yang pasti. Padahal, umumnya di negara lain, izin penyadapan hanya dimiliki satu otoritas
Jangka waktu penyadapan oleh Badan Intelijen Negara (BIN) atas perintah Kepala BIN paling lama enam bulan. Bagi Badan Narkotika Nasional, penyadapan dilakukan selama tiga bulan setelah ada bukti permulaan cukup dan sejak surat penyadapan diterima penyidik.
”Dalam pemberantasan terorisme, penyadapan dapat dilakukan atas perintah ketua pengadilan negeri selama satu tahun. Sementara untuk pemberantasan tindak pidana korupsi, KPK berwenang menyadap tanpa parameter yang rigid dalam UU,” ujar Dhahana. Ia menambahkan, hal itu dapat mengancam hak pribadi seseorang dalam berinteraksi.
Menurut anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, perbedaan kewenangan ini terjadi karena belum ada payung hukum yang mengatur kewenangan penyadapan secara menyeluruh. Maka, RUU Penyadapan harus segera diselesaikan. ”Saat ini, Komisi III DPR sedang mengoordinasikan naskah akademik dan konsep RUU Penyadapan,” katanya. (Sharon Patricia)