JAKARTA, KOMPAS – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu optimistis akan ada jalan keluar dari perbedaan pandangan di antara Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu terkait pencalonan bakal calon anggota legislatif bekas napi kasus korupsi. Untuk itu, terlebih dahulu akan diupayakan muncul persepsi yang sama di antara tiga penyelenggara pemilu mengenai desain kelembagaan pemilu serta kerangka hukum pemilu.
Hingga Senin (03/09/2018), sudah ada putusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di 16 daerah yang mengakomodasi bakal caleg anggota DPRD maupun DPD dalam Pemilu 2019. Hal ini disebabkan pengawas pemilu menganggap keputusan KPU di daerah yang menyatakan bacaleg bekas napi kasus korupsi tidak memenuhi syarat tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Menanggapi putusan tersebut, KPU RI memerintahkan KPU di daerah menunda pelaksanaan putusan Bawaslu sampai ada putusan Mahkamah Agung terhadap uji materi terhadap Peraturan KPU tentang Pencalonan DPD dan PKPU Pencalonan DPR dan DPRD. Dua PKPU itu mengatur pelarangan pencalonan bekas napi kasus korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak.
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Harjono saat menerima audiensi kelompok masyarakat sipil, di Jakarta, Senin, menuturkan, dalam forum tripartit antara KPU, Bawaslu, dan DKPP yang akan berlangsung 5 September mendatang, diharapkan bisa muncul solusi atas persoalan pencalonan bekas napi korupsi. Harjono mengingatkan pentingnya mencari titik temu, apakah ada salah satu pihak yang mengalah atau mencari solusi sama-sama menang bagi para pihak.
“Ini akan didengarkan dalam pertemuan. Kalau mereka bertahan (posisi masing-masing), itu hak mereka. Maka kuncinya di MA. Kalau kemudian muncul akan melakukan begini dan begini, berarti ada solusi sebelum di sana (MA),” kata Harjono.
Namun, Harjono juga mengingatkan, jika menunggu solusi hukum di MA, prosesnya bisa “menggantung”. Sebab, MA berpegang pada ketentuan Mahkamah Konstitusi bahwa saat ada UU yang disengketakan di MK, maka MA tidak memeriksa perkara uji materi terkait UU itu sebelum ada putusan MK.
Anggota DKPP Ida Budhiati meyakini dari forum tripartit akan muncul solusi karena tahapan Pemilu 2019 masih panjang dan memerlukan fokus penyelenggara pemilu. Solusi itu penting agar energi penyelenggara tidak terkuras untuk tahapan pencalonan saja. Ida menuturkan, DKPP ingin menyamakan persepsi antara KPU, Bawaslu, dan DKPP mengenai desain kelembagaan pemilu dan kerangka hukum pemilu karena kedua hal itu mempengaruhi bagaimana ketiga institusi itu bekerja.
“Kalau sudah terbangun solusi dan persepsi yang sama pemahamannya dari aspek kelembagaan dan kerangka hukum, harapan kami, akan muncul solusi terbaik,” kata Ida.
Dalam pertemuan bersama DKPP, pendiri Jaringan untuk Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) Hadar Nafis Gumay meminta DKPP mengingatkan Bawaslu untuk mengevaluasi diri bahwa putusan Bawaslu di daerah tidak memperhatikan PKPU Pencalonan. Dia berharap DKPP bisa memberi nasihat sebagai pihak yang “dituakan”.
Anggota Bawaslu Rahmat Bagja menuturkan, Bawaslu dan KPU sama-sama punya argumentasi, sehingga Bawaslu juga ingin mendengar pandangan DKPP. Dia berharap polemik ini bisa diselesaikan dengan baik, tetapi juga tetap menghormati hak konstitusional warga negara, walaupun mereka pernah menjadi terpidana. Menurut dia, hak konstitusional memang bisa dibatasi, tetapi tetap dengan prosedur.
Bagja menuturkan, Bawaslu sudah menyampaikan surat meminta KPU melaksanakan putusan Bawaslu di daerah. Dia menegaskan, jika MA kemudian memutus uji materi terhadap PKPU Pencalonan, yang kemudian menolak pokok permohonan para pemohon, Bawaslu siap mengoreksi putusannya. “Kalau ada putusan MA, kami pasti akan koreksi. Kalau pendapat kami salah, akan langsung dikoreksi,” kata Bagja.