JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum memerintahkan sejumlah KPU daerah untuk menunda pelaksanaan putusan Badan Pengawas Pemilu yang meloloskan bekas narapidana korupsi sebagai bakal calon legislatif. Komitmen partai politik juga ditagih untuk taat pada pakta integritas.
Komisioner KPU, Viryan Aziz, mengatakan, KPU telah menyurati seluruh KPU tingkat provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh Indonesia agar menaati putusan dari hasil ajudikasi antara KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terkait penundaan pencalonan bakal caleg bekas narapidana korupsi, narkoba, dan pelecehan seksual.
”Kami sampaikan kepada KPU di daerah-daerah, ada putusan dari mediasi, ajudikasi, terkait bakal caleg yang pernah korupsi untuk ditunda penetapannya. Kami ingin ini menjadi perhatian sampai tingkat daerah,” ujar Viryan di kantor KPU, Jakarta Pusat, Jumat (7/9/2018).
Sebelumnya, Rabu (5/9/2018) malam, DKPP telah mengadakan pertemuan tripatit dengan KPU dan Bawaslu terkait bakal caleg bekas napi korupsi yang diloloskan Bawaslu daerah. Pertemuan itu menghasilkan dua opsi sebagai jalan keluar.
Pertama, DKPP akan menyurati Mahkamah Agung untuk segera mengeluarkan putusan terkait uji materi Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Legislatif, sebelum daftar calon tetap (DCT) dikeluarkan, yaitu sebelum tanggal 20 September 2018. Kedua, KPU dan Bawaslu akan kembali melakukan pendekatan kepada parpol untuk mentaati pakta integritas yang telah ditandatangani terkait tidak mencalonkan bekas napi.
KPU telah menyurati seluruh KPU tingkat provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh Indonesia agar menaati putusan dari hasil ajudikasi antara KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu terkait penundaan pencalonan bakal calon anggota legislatif bekas narapidana korupsi, narkoba, dan pelecehan seksual.
Viryan juga menuturkan, Kamis lalu, pihaknya telah menyurati pimpinan parpol untuk menaati pakta integritas yang sudah diteken. Ia mengapresiasi pimpinan parpol yang telah tidak memasukkan bekas napi sebagai bakal caleg DPR RI. Seyogianya hal itu juga diterapkan untuk tingkat DPRD.
”Kan sudah ada pakta integritas. Itu yang kami tagih supaya ini menjadi perhatian pimpinan parpol nasional dan menarik bakal calegnya itu. Kalau pesertanya bagus, pemainnya bagus, diharapkan Pemilu 2019 bisa berintegritas,” tutur Viryan.
Namun, berdasarkan catatan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih, hingga kemarin, setidaknya ada 24 putusan Bawaslu di 22 daerah yang telah meloloskan 29 bakala caleg koruptor. Sejumlah daerah itu adalah Sulawesi Utara, Aceh, Toraja Utara, Rembang, Pare-pare, Bulukumba, DKI Jakarta, Tojo Una-Una, Belitung Timur, Tanggamus, Ende, Cilegon, Manado, Blora, Jawa Tengah, Mamuju, Lingga, Jambi, Gorontalo, Pandeglang, Nias Selatan, dan Rejang Lebong.
Tidak konsisten
Menurut pendiri Jaringan untuk Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit), Hadar Nafis Gumay, persoalan ini sesungguhnya bertitik pada parpol yang tidak konsisten terhadap PKPU pelarangan caleg bekas napi yang telah diundangkan. Ironisnya, parpol-parpol itu juga malah mengajukan sengketa pada PKPU tersebut.
”Situasi menjadi lebih parah karena Bawaslu mengabulkan. Apa yang sudah diatur dan dilaksanakan dalam proses pencalonan agar pemilu berkualitas justru malah dirusak oleh Bawaslu,” ujar Hadar.
Hadar menilai, Bawaslu tidak mengawal pelaksanaan penyelenggaraan pemilu sesuai UU. Seharusnya, putusan Bawaslu di daerah berpedoman pada PKPU.
”Ini suatu sikap atau pengambilan posisi yang saya anggap keliru karena Bawaslu sama sekali tidak memperhatikan PKPU. Kalau sepanjang apa yang terjadi sesuai PKPU, ya harus dikatakan benar. Tidak bisa kemudian Bawaslu keluar dengan interpretasi lain dan kemudian mengatakan salah,” kata Hadar.
Hadar menambahkan, dengan diperbolehkannya caleg bekas napi, hal itu dapat mengancam integritas tubuh legislatif di daerah. Ia mengacu pada korupsi massal yang telah dilakukan oleh anggota legislatif di sejumlah daerah.
”Pemilu ini, kan, sebagai pintu masuk kita memilih orang yang baik untuk menjadi pimpinan kita, dalam hal ini wakil rakyat. KPU telah mengatur ini sejak awal agar yang terpilih adalah calon-calon terbaik yang belum pernah melakukan kesalahan yang sangat serius. Ini penting untuk perbaikan di mana masih banyak sekali pemimpin berintegritas rendah,” katanya.