JAKARTA, KOMPAS – Mekanisme rekrutmen calon hakim agung yang saat ini dilakukan oleh Komisi Yudisial belum sepenuhnya mampu mendorong hadirnya calon-calon hakim agung berkualitas. Tiga pihak yang bisa mengusulkan calon hakim agung, yakni Mahkamah Agung, pemerintah, dan masyarakat di satu sisi juga kurang getol dalam mendorong calon-calon berkualitas untuk masuk menjadi hakim agung.
Di sisi lain, pada praktiknya mekanisme pencalonan hakim agung kini menjadi bergeser, bukan lagi pemerintah, MA, dan masyarakat yang aktif mencalonkan hakim agung, melainkan calonnya sendiri yang kini aktif mendaftar, dan diminta agar melengkapi syarat pencalonan itu dengan meminta rekomendasi dari salah satu dari ketiga pihak pengusung.
Untuk hakim karier, misalnya, ia harus meminta rekomendasi dari ketua Pengadilan Tinggi, sedangkan akademisi meminta rekomendasi dari dekan atau rektor tempatnya bekerja. Pola ini membuat calon lebih aktif bergerak daripada lembaga pengusung yang diatur menurut Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 18/2011. Ketentuan mengenai pencalonan hakim agung ini diatur di dalam Pasal 15 Ayat 2 UU KY.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Astriyani, Jumat (14/9/2018) di Jakarta mengatakan, pergeseran pola rekrutmen dari maksud UU ini diakui menjadi salah satu penyebab munculnya keraguan atas kualitas pada pendaftar CHA. Sebab, pihak pengusung tidak banyak terlibat dalam seleksi setelah mereka memberikan rekomendasi pendaftaran kepada orang per orang para calon.
Kalau dari sisi masyarakat sipil, menurut Astriyani, ada beberapa faktor. “Penyebabnya bisa jadi dari kedua sisi. Pertama, dari elemen masyarakat sipil yang tidak lagi aktif menelusuri, mendekati, meyakinkan orang-orang yang bisa dianggap memenuhi syarat untuk mendaftar sebagai calon hakim agung. Atau juga dari sisi orang-orang yang berkualitas itu, yang ternyata enggan mengikuti proses seleksi, terutama ketika harus berhadapan dengan proses politik di DPR,” katanya.
Untuk CHA yang lolos seleksi administrasi untuk seleksi CHA semester kedua tahun ini, misalnya, ada nama Albertina Ho dan Jhon Halasan Butar Butar. Keduanya hakim senior. Jhon sebelumnya bertugas sebagai hakim pengadilan tindak pidana korupsi di Jakarta, sedangkan Albertina adalah hakim tinggi di Medan. Selain itu dari kalangan masyarakat ada Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai.
Astriyani mengatakan, ada risiko bagi lembaga-lembaga atau pihak pengusung yang mendorong orang atau tokoh tertentu untuk maju dalam pendaftaran CHA. Pertama, orang yang didorong belum tentu mau, karena enggan dengan mekanisme dalam seleksi itu sendiri. KY dan DPR dalam beberapa sisi dikritisi karena kerap melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang bernada merendahkan calon saat seleksi.
“Calon-calon sering kali diperlakukan seperti mahasiswa yang sedang sidang skripsi di KY. Begitu pula dengan wawancara fit and proper test di DPR. Orang-orang yang berkualitas, tentu enggan mengikuti proses yang semacam itu,” katanya.
Menurut Astriyani, idealnya orang-orang yang hendak direkrut itu harus diperlakukan dengan hormat, sebab mereka akan ditempatkan pada posisi yang terhormat, yakni sebagai hakim agung. “Kalau memang tidak memenuhi syarat atau kualifikasi tidak perlu diloloskan, tanpa harus merendahkan mereka,” ujarnya.
Kedua, kendala bagi pengusung ialah tidak adanya jaminan bagi mereka yang didorong untuk maju mendaftar akan lolos dalam seleksi, karena seleksi itu bergantung pada masing-masing orang.
Seleksi obyektif
Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) Dio Ashar mengatakan, rekrutmen seharusnya disesuaikan juga dengan kebutuhan penyelesaian perkara di MA.
“MA tidak cukup hanya meminta hakim agung sekian orang, tanpa menjelaskan detil kompetensi apa sih yang diperlukan. Kalau yang diperlukan adalah hakim di kamar pidana, perlu dirinci pula dan disesuaikan dengan jumlah kasus yang saat ini ditangani, apakah keahliannya dalam pidana korupsi, narkotika, ataukah pelecehan sesksual. Sebab disesuaikan dengan perkara yang paling banyak ditangani MA,” kata Dio.
Ketua Bidang Rekrutmen Hakim KY Aidul Fitriciada Azhari mengatakan, pihaknya menyadari ada kendala psikologis dalam diri calon, terutama ketika harus menghadapi wawancara. Namun, pihaknya memastikan KY tidak bertujuan mempermalukan calon. “Kami bersikap obyektif saja dalam melakukan tahapan seleksi. Apalagi kalau sudah menyangkut guru besar, tentu kami berhitung supaya jangan sampai mempermalukan yang bersangkutan,” katanya.
Untuk memperlebar jaring pendaftaran, KY juga berkomunikasi dengan para calon tersebut agar bersedia mengikuti seleksi. Jemput bola dilakukan oleh KY pada beberapa orang. Namun, diakui oleh Aidul, umumnya ada kekhawatiran pada diri calon tersebut untuk dipermalukan dalam seleksi, apalagi saat sudah sampai di tahap fit and proper test DPR.