Bersatu demi Kendali Ruang Udara
Ruang udara kerap dilupakan sebagai aset strategis bangsa. Padahal, selain membuka peluang kemajuan, ruang udara juga menyimpan potensi ancaman.
Perkembangan teknologi membuat pengelolaan ruang udara kian kompleks. Ancaman yang datang dari udara tidak hanya dalam bentuk perang konvensional, tetapi juga ancaman nontradisional, mulai dari drone hingga serangan seperti 9/11 di Amerika Serikat.
Perkembangan geopolitik di Asia Pasifik membuat Indonesia berada di tengah kompetisi antarnegara. Kepala Staf Komando Pertahanan Udara Nasional TNI Marsekal Pertama Arif Mustofa mengatakan, selama tahun 2015-2017 terjadi 178 pelanggaran wilayah udara di sekitar Natuna. Sementara China memperkuat diri dengan kemampuan siber dan rudal balistik, AS menggandeng Australia, Singapura, Jepang, bahkan Filipina dan Vietnam sebagai sekutu militer. Muncul dilema keamanan, yakni peningkatan upaya untuk menjaga keamanan malah bisa memicu konflik.
Dalam menghadapi situasi ini dibutuhkan konsep yang strategis demi mengedepankan kepentingan nasional Indonesia. Konsep ini yang menjadi arah tentang tujuan, cara, dan alat utuk bisa memiliki kekuatan udara demi mendukung tercapainya tujuan nasional.
Kekinian
Sebelum membahas konsep strategis, ada beberapa catatan tentang kondisi kekinian ruang udara nasional. Pertama, dari sisi regulasi masih ada tumpang tindih dan kelemahan. Kepala Staf TNI AU Marsekal Yuyu Sutisna mengatakan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan belum tegas mengatur penggunaan ruang udara nasional.
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pengamanan Wilayah Udara Republik Indonesia telah mengatur beberapa aspek, seperti zona identifikasi pertahanan udara (ADIZ). ”Tapi sanksi yang ada hanya administratif sehingga jadi celah pelanggaran. Seharusnya ada sanksi pidana,” kata Yuyu dalam Seminar Pengelolaan Wilayah Udara Nasional, Kamis (13/9/2018).
Kedua, dari sisi aktor dan alat, saat ini wilayah udara ditangani oleh beberapa instansi, seperti Kementerian Perhubungan dan TNI AU. Beberapa kerja sama telah dilaksanakan antara instansi sipil dan militer, untuk radar misalnya. Akan tetapi, kerap kali berbagai instansi ini memiliki perbedaan persepsi yang tak kunjung selesai.
Terkait pengembalian wewenang flight information region (FIR) di atas Kepulauan Riau dari Singapura ke Indonesia, misalnya. Kementerian Perhubungan dan Kementerian Luar Negeri melihat masalah ini terkait keselamatan penerbangan. Sementara TNI AU dan Kementerian Pertahanan melihat pengaturan dari tahun 1946 ini sebagai masalah kedaulatan.
Dari segi alat, harus diakui teknologi dirgantara Indonesia jauh ketinggalan dari negara-negara tetangga, terutama yang berafiliasi dengan negara besar. Keterbatasan anggaran, misalnya, membuat penggelaran pesawat tempur sergap belum bisa dilakukan di seluruh Indonesia sehingga selalu berpindah sesuai prioritas ancaman. Tidak tersedianya teknologi dirgantara yang maju di dalam negeri membuat Indonesia hanya bisa jadi konsumen, itu pun bukan produk mutakhir.
Ketiga, dalam kaitan dengan dunia internasional, perbedaan interpretasi aturan oleh sejumlah negara bisa menyulitkan Indonesia. AS dan Australia, misalnya, menafsirkan Pasal 53 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) dengan persepsi bahwa mereka bebas melintas di udara alur laut Kepulauan Indonesia.
Interpretasi ini yang pernah mencetuskan peristiwa Bawean tahun 2003 ketika F16 TNI AU mencegat F18 yang berasal dari kapal AS di utara Jawa Timur. Ada dua rezim yang berlaku, yaitu UNCLOS yang mengatur laut dan Konvensi Chicago 1944 dan International Civil Aviation Organization (ICAO) yang tidak sejalan.
Pengendalian ruang udara Indonesia juga terganjal masalah FIR yang belum selesai. Pakar hukum udara dari Universitas Padjajaran, Atip Latipulhayat, mengatakan, pengaturan FIR merupakan turunan dari kedaulatan udara sebuah negara. Konsekuensinya, negara itu harus menjaga keamanan sesuai standar penerbangan internasional.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dalam rapat kerja di Kementerian Pertahanan awal tahun 2018 juga menyatakan, untuk mengembalikan kewenangan FIR harus dilakukan lintas kementerian.
Strategi
Dalam menyusun strategis pengendalian ruang udara, yang pertama harus ditentukan adalah tujuannya, lalu cara dan alat. Merujuk pada upaya mewujudkan visi Poros Maritim Dunia, kedaulatan udara yang terdiri dari pengendalian, penggunaan, dan penegakan hukum di udara menjadi hal yang mutlak. Tujuan akhirnya adalah kesejahteraan dan kemajuan bangsa.
Contoh yang baik bisa dipelajari dari Singapura. Tahun 2011, PM Goh Chok Tong menyatakan bahwa penerbangan sipil di Singapura menyumbang 3 persen dari produk domestik brutonya atau sekitar Rp 122 triliun dari turis, transit, dan industri penerbangan.
Caranya adalah dengan menyinergikan semua kekuatan bangsa untuk mencapai tujuan kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Kerja sama sipil dan militer adalah hal yang mutlak. Kerja sama pemanfaatan radar sipil dan militer jadi contoh keberhasilan di mana kekurangan radar militer terbantu oleh radar sipil sehingga bisa menjaga seluruh wilayah Indonesia.
Guru Besar FISIP Universitas Airlangga Makarim Wibisono mengatakan, harus seimbang antara pertimbangan keamanan dan keselamatan, pertahanan, serta ekonomi dan lingkungan hidup. ”Jangan demi komersial, pertimbangan pertahanan jadi dihilangkan,” kata Makarim.
Alatnya ada dua, yaitu perangkat keras dan perangkat lunak. Perangkat lunak adalah regulasi yang lebih jelas dan tegas. Selain ada sanksi pidana, juga ada petunjuk pelaksanaan. Selain itu, perlu ada penguatan SDM, dokumentasi, dan riset.
Sementara untuk perangkat keras, perlu dibentuk sebuah lembaga antardepartemen. Model antardepartemen ini pernah menjadi solusi yang didapatkan Pemerintah AS setelah lembaga-lembaganya sibuk dengan ego sektoral. AS mendirikan Joint Interagency Task Force (JIATF) untuk mengeksploitasi potensi udaranya guna mengatasi ancaman, seperti penyelundupan narkoba di perbatasan atau antigerilya di Afghanistan.
Sejarawan perang AS, James S Corum, dalam makalahnya, ”Air Power in Interagency Operations dalam The Routlegde Handbook of Air Power 2018” mengatakan, kerja sama sipil militer untuk kekuatan udara dalam bentuk lembaga permanen penting untuk mendapatkan komando dan pengendalian yang efektif.
Ruang udara memang terlalu luas. Untuk itu, diperlukan kerja sama yang sinergis dari semua elemen bangsa untuk menguasainya dan memanfaatkannya untuk kepentingan bangsa Indonesia.