JAKARTA, KOMPAS - Perkara korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia berlanjut. Bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional atau BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan vonis 13 tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (24/9/2018).
Selain pidana penjara, Syafruddin juga diminta membayar denda sebesar Rp 700 juta subsider 3 bulan kurungan. Majelis hakim menilai dakwaan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP yang diajukan sebagai dakwaan pertama oleh jaksa dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan. Semua pembelaan Syafruddin dan penasihat hukum ditolak. Tak mengakui perbuatannya menjadi hal yang memberatkan Syafruddin.
Vonis ini lebih rendah dibandingkan dengan tuntutan jaksa, yaitu 15 tahun penjara dengan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Meski tidak terbukti memperkaya diri sendiri, kebijakan Syafruddin mendorong terbitnya surat keterangan lunas (SKL) kepada pemegang saham Bank Dagang Negara Indonesia, Sjamsul Nursalim, dinilai memperkaya Sjamsul senilai kerugian negara, yaitu Rp 4,58 triliun. Angka kerugian negara ini merujuk pada hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2017.
Tindakan Syafruddin ini tidak dilakukan sendiri. Nama Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjorojakti disebut turut menyetujui penghapusan atas porsi utang unsustainable petambak sebesar Rp 2,8 triliun yang disampaikan Syafruddin saat rapat terbatas kabinet pada 11 Februari 2004.
Persetujuan tetap diambil Dorodjatun meski rapat terbatas kabinet tidak pernah memutus atau menyetujui penghapusan usulan Syafruddin itu dan mengetahui ada misrepresentasi dari aset milik Sjamsul. Atas persetujuannya, Dorodjatun mengeluarkan keputusan pada 13 Februari 2004 yang membatalkan dua keputusan sebelumnya yang menegaskan penagihan kepada Sjamsul tetap harus dilakukan.
”Maka, dapat disimpulkan bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa selaku Kepala BPPN yang telah menghapuskan utang petambak yang dijamin PT DCD (Dipasena Citra Darmaja) dan PT WM (Wahyuni Mandira) serta telah menerbitkan surat penyelesaian, padahal pihak Sjamsul belum menyelesaikan kewajiban karena menampilkan utang petambak seolah-olah lancar ini melibatkan pihak lain. Syafruddin tidak sendiri, tapi bersama-sama yang untuk itu butuh pembuktian lebih lanjut,” ujar hakim anggota, Anwar.
Perkara ini berawal dari pengucuran dana BLBI kepada BDNI sebesar Rp 47,2 triliun. Dalam penggunaannya, BDNI melakukan penyimpangan sehingga BPPN mengategorikannya sebagai bank yang melanggar hukum atau bertransaksi tidak wajar yang menguntungkan pemegang saham, dalam hal ini Sjamsul. Namun, dalam penyelesaian kewajibannya melalui pola perjanjian master settlement acquisition agreement (MSAA), Sjamsul ingkar dengan memberikan aset yang bermasalah, yaitu PT Dipasena Citra Darmaja yang terlilit kredit macet.
Majelis hakim juga mempertimbangkan keterangan penasihat hukum Syafruddin, yaitu Yusril Ihza Mahendra, saat menjabat sebagai Menteri Kehakiman. Hakim Anwar mengutip sebagian keterangan Yusril yang menyatakan bahwa mantan pejabat BPPN tidak memiliki hak imunitas meski pembentukannya darurat sehingga tanggung jawab masih dapat dimintakan.
Atas putusan tersebut, jaksa memilih pikir-pikir. Sementara Syafruddin langsung mengajukan banding atas vonis yang dijatuhkan majelis hakim yang dipimpin Yanto.
”Satu hari pun dihukum, kami akan menolak. Saat ini juga, kami minta untuk melakukan banding,” kata Syafruddin di depan majelis hakim.