JAKARTA, KOMPAS - Sidang majelis kehormatan hakim mengagendakan pemeriksaan pelapor dalam dugaan suap kepada hakim berinisial JWL yang saat ini dijatuhi sanksi nonpalu selama setahun oleh Mahkamah Agung. Hakim JWL diduga menerima uang Rp 15 juta dari pihak yang berperkara dalam suatu sidang pidana, tahun 2014.
Jimmy Maruli Alfian, salah satu anggota tim pembela dari Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Jumat (28/9/2018) di Jakarta mengatakan, pihaknya sempat mengajukan keberatan atas putusan sidang MKH, 26 September lalu, yang mengagendakan pemeriksaan terhadap pelapor dan saksi-saksi dalam dugaan suap kepada hakim JWL. Pasalnya, mekanisme MKH seharusnya menjadi sarana pembelaan bagi hakim bersangkutan.
“MKH seharusnya menjadi panggung terlapor untuk membela diri dengan mengajukan bukti maupun saksi,” katanya.
Pemeriksaan terhadap pihak pelapor dan saksi semestinya selesai dalam pemeriksaan dan rapat pleno KY. “Sebenarnya pada tahap pemeriksaan awal, sewaktu dibuatkan berita acara oleh KY, dulu sudah pernah bertanya terhadap hakim terlapor, apakah hakim terlapor bersedia di konfrontir dengan pelapor ataukah tidak. Hakim terlapor menyatakan bersedia. Akan tetapi, pemeriksaan konfrontir itu tidak pernah dilakukan sampai akhirnya MKH dilaksanakan,” ujar Jimmy.
Namun, sidang Kamis lalu memutuskan agar pelapor dan seorang saksi dihadirkan guna dikonfrontasi dengan keterangan hakim terlapor. Selama ini, KY menilai ada perbedaan keterangan antara hakim terlapor dengan pelapor dan saksi. Saat dalam pemeriksaan KY, hakim terlapor membantah telah menerima sejumlah uang dari pelapor. Di sisi lain, pelapor dan saksi membenarkan adanya penyerahan uang itu di sebuah rumah makan di Manado. Pada saat dugaan suap itu terjadi, hakim JWL sedang bertugas di Pengadilan Negeri Manado.
Wakil Ketua Komisi Yudisial (KY) yang juga menjadi ketua majelis dalam sidang MKH itu, Maradaman Harahap, mengatakan, keterangan dari pelapor dan saksi diperlukan di dalam sidang guna mengonfirmasi kebenaran penyerahan uang Rp 15 juta itu dari pelapor kepada terlapor. Keterangan dari hakim terlapor akan dikonfrontir dengan keterangan dari pihak pelapor.
“Kami tidak mau keliru menghukum hakim yang tidak bersalah. Oleh karena perlu dihadirkan pihak pelapor dan saksi untuk mengkonfrontir keterangan hakim terlapor di persidangan. Agenda pemeriksaan pelapor dan saksi penting dilakukan untuk menghindarkan kekeliruan hakim dalam memutus suatu perkara,” kata Maradaman.
MKH lanjutan dengan agenda pemeriksaan pelapor dan saksi akan diadakan pada 10 Oktober 2018 di MA. Selain mendengarkan keterangan pelapor dan saksi, pada sidang yang sama akan juga dibacakan putusan sidang MKH.
Maradaman menuturkan, keterangan hakim terlapor yang membantah menerima sejumlah uang dari pihak berperkara itu wajar saja. Namun, yang ingin didalami majelis hakim dalam sidang MKH yang terdiri atas empat anggota KY dan tiga hakim agung itu ialah kebenaran ada atau tidaknya penyerahan uang itu kepada hakim JWL.
“Yang telah bisa dipastikan ialah adanya pertemuan antara hakim JWL dengan pihak yang berperkara. Namun, apakah dalam pertemuan itu ada penyerahan uang, itu yang ingin kami dalami,” ujarnya.
Periksa rekam jejak
Di sisi lain, majelis juga menilai rekam jejak hakim JWL selama menjadi hakim. Saat ini, hakim tersebut juga sedang menjalani hukuman nonpalu satu tahun dari MA dalam kasus yang berbeda. KY sendiri juga menerima sejumlah laporan terkait hakim bersangkutan, tetapi belum ada yang terbukti.
“Kami akan menanyakan juga rekam jejak hakim ini kepada Badan Pengawasan MA, apakah betul dia ini hakim nakal. Sebab, kalau sudah dijatuhi hukuman nonpalu selama 1 tahun berarti ada catatan buruk di Bawas MA. Namun, kami kan tidak boleh memutus berdasarkan anggapan orang,” kata Maradaman.
Sidang yang dijalani hakim JWL ini merupakan MKH ke-51 yang digelar MA dan KY. Dari 51 kali MKH, 23 kali di antaranya digelar dengan alasan hakim menerima suap atau gratifikasi, termasuk kasus yang dialami hakim JWL.
Sisanya, 18 kali MKH karena hakim selingkuh, 5 kali MKH karena hakim melakukan tindakan indisipliner atau tidak profesional, 3 kali MKH karena hakim mengonsumsi narkoba, 1 kali MKH karena hakim memanipulasi putusan, dan 1 kali MKH karena hakim memalsukan dokumen.
Maradaman mengatakan, tingginya suap dan selingkuh sebagai penyebab pelanggaran hakim dipicu oleh pola hidup. “Ini karena pola hidup, antara lain karena tidak mau hidup sederhana, ingin mewah, ingin itu, tentu tidak cukup dengan gaji yang diterima sekalipun sudah memadai seharunya,” urainya.
Juru bicara MA Suhadi mengatakan, tingginya suap sebagai penyebab pelanggaran hakim dalam MKH menjadi perhatian MA. “Suap itu masalah mental hakim bersangkutan. Sudah banyak sekali aturan, mulai dari peraturan MA dan maklumat Ketua MA. Kalau masih saja menerima suap ya itu risiko mereka sendiri. MA tidak akan melindungi. Kalau sudah diperiksa penyidik dan dibawa ke penuntut umum, ya sudah pasti diberhentikan,” ujarnya.