JAKARTA, KOMPAS — Perbaikan pengadaan barang dan jasa masih menjadi celah bagi kepala daerah untuk melakukan korupsi. Upaya penguatan aparat pengawas internal pemerintah yang disuarakan sejak 2017 dengan merancang perubahan aturan belum juga diwujudkan, masih terus dalam pembahasan sampai saat ini.
Kamis (4/10/2018) pagi, Komisi Pemberantasan Korupsi kembali melakukan operasi tangkap tangan terhadap Wali Kota Pasuruan Setiyono di rumah dinasnya. Setiyono pun ditetapkan sebagai tersangka, Jumat, 5 Oktober, bersama Dwi Fitri Nurcahyo selaku Pelaksana Harian Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Pasuruan, Wahyu Tri Hardianto selaku anggota staf Kelurahan Purutrejo, dan pihak swasta dari CV Mahadhir, Muhammad Baqir.
Setiyono menjadi kepala daerah ke-16 yang terjaring dalam operasi tangkap tangan yang sudah digelar 22 kali sepanjang 2018. ”Korupsi yang dilakukan kepala daerah tersebut tentu saja sangat merugikan masyarakat setempat. Apalagi mereka telah dipilih melalui proses pemilu yang demokratis dan membutuhkan biaya penyelenggaraan yang tidak sedikit,” tutur Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Jumat.
Berdasarkan gelar perkara yang dilakukan, Setiyono diduga menerima hadiah atau janji dari rekanan Pemerintah Kota Pasuruan terkait proyek belanja modal gedung dan bangunan Pusat Layanan Usaha Terpadu Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah di Kota Pasuruan. Proyek bernilai Rp 2,2 miliar ini diduga telah diatur oleh Setiyono.
Dari proses lelang yang sudah usai ini, CV Mahadhir keluar sebagai pemenang tender. Setiyono memperoleh jatah 5 persen hingga 7 persen untuk proyek bangunan dan pengairan. Untuk proyek pembangunan PLUT KUMKM ini, commitmentfee yang disepakati sebesar 10 persen dari nilai proyek. Setiyono telah menerima Rp 135 juta secara bertahap.
”Ini sudah berkali-kali kepala daerah terkena operasi tangkap tangan. Salah satu masalah kepala daerah tidak jera dari hasil evaluasi KPK adalah karena fungsi pengawasan internal tidak diberdayagunakan dalam banyak kasus,” ujar Marwata.
”Pengawas internal bukan tidak tahu ada penyimpangan dalam proses pengadaan barang dan jasa, tapi mereka tidak memiliki kewenangan atau memiliki kemampuan untuk mengingatkan atau untuk meluruskan penyimpangan karena kedudukan inspektorat di bawah kepala daerah,” lanjutnya.
Tak ada kelanjutan
Di sisi lain, upaya penguatan pengawas internal ini juga dipertanyakan. Pembahasan rancangan undang-undang yang diinisiasi sejak 2017 hingga kini tak ada kelanjutan. Dalam rancangan tersebut, diusulkan agar pengawas internal tidak lagi berada di bawah kepala daerah secara langsung. Diusulkan agar pengawas internal untuk kabupaten bertanggung jawab kepada gubernur, sementara pengawas internal untuk provinsi bertanggung jawab langsung kepada Menteri Dalam Negeri.
Saat ini, sistem pengawasan internal pemerintah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. PP itu menyebutkan beberapa lembaga pengawas internal pemerintah, yaitu BPKP yang bertanggung jawab langsung kepada presiden, inspektorat jenderal (menteri atau pemimpin lembaga), inspektorat provinsi (gubernur), dan inspektorat kabupaten/kota (bupati/wali kota) (Kompas, 26 Agustus 2017).
Koordinator Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo juga sepakat, kendali inspektorat di bawah kepala daerah membuat kinerjanya dalam menangani penyimpangan yang terjadi di jajaran pemerintah daerah terhambat. Bahkan, laporan inspektorat terhadap KPK jika ada indikasi korupsi pun jarang terjadi. Semestinya, aturan untuk penguatan pengawas internal ini segera dituntaskan.