JAKARTA, KOMPAS-Penyadapan terkait penegakan hukum dibatasi hanya untuk sembilan tindak pidana. Penyadapan pun hanya bisa dilakukan pada tahap penyelidikan dan penyidikan. Aturan itu tertera di draf Rancangan Undang-Undang Penyadapan yang tengah dikaji Badan Legislasi DPR.
Kesembilan penyadapan itu meliputi tindak pidana korupsi, perampasan kemerdekaan atau penculikan, perdagangan orang, penyelundupan, pencucian atau pemalsuan uang, psikotropika atau narkotika, penambangan tanpa izin, penangkapan ikan tanpa izin, dan pembalakan liar.
Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Supratman Andi Agtas, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (15/10/2018), mengatakan, aparat tak bisa sembarangan melakukan penyadapan karena penyadapan terkait hak asasi manusia.
Namun sekalipun di draf sudah disebutkan jenis-jenis tindak pidana di mana aparat bisa melakukan penyadapan, Supratman mengatakan, jenis-jenis tindak pidana itu masih bisa berubah. Begitu pula pembatasan penyadapan yang di draf RUU hanya bisa dilakukan pada tahap penyelidikan dan penyidikan.
Sebagai contoh, adanya masukan dari Kejaksaan Agung agar penyadapan juga bisa dilakukan untuk melacak dan memburu harta terpidana korupsi guna menutup kerugian negara karena korupsi.
“Kami masih tahap uji publik, meminta masukan dari semua pihak. Dari masukan-masukan itu nanti mungkin saja mengubah aturan yang sudah ada di dalam draf RUU,” ujarnya.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani juga melihat jenis tindak pidana yang bisa disadap, memungkinkan untuk diubah. Menurutnya, bisa saja untuk sejumlah jenis tindak pidana seperti korupsi, memang disebutkan di draf RUU. Namun mengingat jenis kejahatan yang terus berkembang, bisa pula disebutkan norma yang memungkinkan penyadapan terhadap kejahatan tertentu, tanpa menyebutkan jenis kejahatannya.
“Jadi misalnya, untuk tindak pidana yang ancaman hukumannya sekian tahun, merugikan negara sekian rupiah atau mengancam keamanan negara, penyadapan bisa dilakukan. Dengan demikian, ada fleksibilitas mengingat jenis kejahatan yang terus berkembang,” katanya.
Pengajar hukum pidana dari Universitas Parahyangan Agustinus Pohan mengatakan, pembatasan sembilan jenis tindak pidana di draf RUU Penyadapan masih perlu dibahas lagi secara terbuka dengan meminta masukan dari berbagai pihak. Sebab, di satu sisi, pembatasan diperlukan agar penyadapan tidak terlalu bebas. Namun, di sisi lain, pembatasan juga tidak bisa terlalu ketat karena kejahan terus berkembang.
Selain itu, dari sembilan jenis tindak pidana yang masuk dalam Pasal 7 RUU Penyadapan, Agustinus beranggapan, masih ada beberapa jenis tindak pidana yang belum terdaftar, padahal juga penting, seperti kejahatan terorganisir (organized crime). “Padahal, itu suatu kejahatan yang serius dan penting, dan mencakup berbagai jenis tindak pidana, bisa di bidang perjudian, perdagangan manusia, dan lain-lain,” katanya.