Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat Mandek
JAKARTA, KOMPAS — Penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia berat mandek. Tidak ada penyelesaian terhadap kasus-kasus itu, termasuk secara nonyudisial. Kebijakan hukum yang belum sesuai serta koordinasi yang tidak tegas menjadi kendala penyelesaiannya.
”Penyelesaian kasus secara nonyudusial dalam kondisi stuck. Kalau yudisial tidak jalan, yang nonyudisial juga tidak jalan. Sampai saat ini satu-satunya penyelesaian di luar hukum nasional hanya kasus Aceh,” ujar komisioner Komnas HAM, Mohammad Choirul Anam, Rabu (24/10/2018).
Sejak Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, sudah tak ada lagi upaya dari pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat. UU KKR dibatalkan oleh MK karena dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM.
Sesuai UU KKR, masalah paling signifikan, yaitu pemberian hak korban, tidak bisa dilakukan dengan sistem barter. Maksudnya, korban akan mendapatkan hak ketika memberikan maaf kepada pelaku. Memberikan yang sudah menjadi hak korban sewajarnya tanpa syarat.
Untuk itu, aturan yang sangat krusial dari penyelesaian kasus HAM berat khususnya masa lalu secara nonyudisial adalah dengan melahirkan terlebih dahulu kebijakan hukum. Hal tersebut tercantum dalam amanat TAP MPR Nomor V/MPR/2000 dan UU Nomor 26 Tahun 2000.
Posisi berpengaruh
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat menjadi titik serius yang harus segera diselesaikan. Hal itu mendesak karena kasus pelanggaran HAM berat khususnya masa lalu dianggap sesuatu yang menjadi beban negara. Oleh karena itu, pengaturan segala sesuatunya harus berdasarkan hukum.
”Supaya akuntabilitas terjaga sejak awal proses, sekaligus bukan menjadi satu langkah sewenang-wenang oleh penguasa,” kata Anam.
Macetnya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat salah satunya didasari adanya aktor-aktor yang dahulu terlibat dalam peristiwa tersebut saat ini kembali menduduki pemerintahan dan memiliki posisi berpengaruh.
Pelanggaran HAM berat pada dasarnya masuk dalam ranah pidana khusus, sama halnya dengan kasus korupsi. ”Penyidik independen menjadi solusi untuk penyelesaian kasus HAM berat, khususnya masa lalu,” ujar Anam.
Ia menambahkan, saat ini, Komnas HAM melakukan penyelidikan terkait dengan kasus-kasus pelanggaran HAM di beberapa daerah. Di samping pula menunggu langkah dari Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti kasus-kasus tersebut.
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM itu juga dinilai mengalami stagnasi, bahkan kemunduran oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Langkah kontradiktif dari presiden karena para pihak yang diduga bertanggung jawab terhadap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu duduk dalam kabinetnya.
Dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (Ranham) 2015-2019, target penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu hanya optimalisasi koordinasi antarlembaga. ”Kasus ini sudah mandek sejak 2002. Agenda ranham bukan penyelesaian, melainkan koordinasi, terkesan ada upaya buying time,” kata Koordinator Kontras Yati Andriyani.
Selain itu, ranham juga gagal melaksanakan agenda ratifikasi konvensi perlindungan semua orang dari penghilangan paksa. Hal tersebut sudah direkomendasikan DPR sejak 2009 dan ditandatangani di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2010. (Fransisca Natalia Anggreaini)