TANGERANG, KOMPAS — Presiden Joko Widodo mengajak semua pihak berpolitik dengan etika. Hal itu karena semakin banyak politisi yang dinilainya menghalalkan berbagai cara untuk meraih simpati dalam kontestasi Pemilu 2019.
”Menjelang pemilu banyak cara tidak sehat dilakukan politisi. Segala jurus dipakai untuk memperoleh simpati rakyat. Tapi yang enggak baik, sering menyerang lawan-lawan politik dengan cara-cara yang tak beradab, tak beretika, tak ada tata kramanya. Itu yang tidak sehat,” kata Presiden seusai membuka Trade Expo Indonesia di Indonesia Conventian Centre, Tangerang, Banten, Rabu (24/10/2018).
Saat ini, menurut Presiden, bukan zamannya kampanye memakai politik adu domba, pecah belah, ataupun kebencian. Saat ini adalah zaman adu program, gagasan, ide, prestasi, dan rekam jejak. ”Kalau masih memakai cara-cara lama seperti politik kebencian, SARA, adu domba, pecah belah, itu yang namanya politik sontoloyo,” katanya.
Hal senada disampaikan Presiden saat penyerahan sertifikat hak tanah kepada 5.000 warga DKI Jakarta, Selasa (23/10/2018), di Jakarta. Saat itu, Presiden menyatakan keprihatinan terkait dengan banyaknya program pemerintah yang oleh sejumlah politisi selalu dihubungkan dengan kegiatan politik. Padahal, program itu bentuk dari komitmen pemerintah untuk rakyat. ”Hati-hati. Ada politikus yang baik-baik, tetapi banyak juga politikus sontoloyo,” katanya. (Kompas, 23/10/2018)
Adanya praktik politik yang menghalalkan segala cara juga disampaikan Presiden Jokowi di hadapan pemimpin gereja dan rektor/ketua perguruan tinggi agama Kristen seluruh Indonesia di Istana Merdeka, Jakarta. ”Sebetulnya masalah kebinekaan sudah rampung, tak pernah ada yang mempersoalkan karena itu kesepakatan para founding fathers. Tapi, gara-gara pilihan bupati, gubernur, dan presiden, dipermasalahkan,” kata Presiden.
Demi kekuasaan, lanjut Presiden Jokowi, segala macam cara dihalalkan, dari politik tak beradab dan tak beretika, hingga politik adu domba, pecah belah, dan fitnah. Politik semacam itu tak sesuai nilai-nilai luhur yang sejak lama dimiliki bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Presiden berharap persatuan dan kerukunan jangan dipertaruhkan hanya karena kontestasi politik.
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi, menilai, pernyataan Presiden Jokowi itu sebenarnya ingin mengingatkan elite politik agar tak memanipulasi sentimen emosional massa untuk memperoleh keuntungan dan dukungan politik. Sebab, sejumlah politisi menggunakan rakyat sebagai instrumen politik tanpa mempertimbangkan dampak hancurnya keadaban.
”Politik sebagai ajang merumuskan common good itu kini menjauh dan justru mengarah pada persengketaan serta perpecahan ketika strategi hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian terus dilakukan politisi,” tuturnya.