YOGYAKARTA, KOMPAS – Para politisi dan berbagai elemen masyarakat diminta menghindari cara-cara berpolitik yang tidak beradab atau barbar dalam kontestasi terkait Pemilu 2019. Model berpolitik barbar yang menghalalkan kekerasan, penyebaran kabar bohong, serta syiar kebencian, tidak boleh dibiarkan terus terjadi karena bisa mengganggu keharmonisan kehidupan berbangsa.
“Sebetulnya berpolitik itu sesuatu yang mulia. Menjadi tidak mulia apabila cara berpolitik kita mengedepankan ketidakberadaban atau politik barbar,” kata sosiolog Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Zuly Qodir, dalam diskusi bertema “Pemilu Damai, Berintegritas, Tanpa Politisasi SARA, dan Hoax”, Kamis (25/10/2018) malam, di Hotel Museum Batik, Yogyakarta.
Diskusi yang diselenggarakan Relawan Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin untuk Kemuliaan Indonesia (Rejomulia) itu juga menghadirkan dua pembicara lain, yakni anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Siti Ghoniyatun serta Koordinator Sekretariat Bersama Keistimewaan DIY Widihasto Wasana Putra.
Zuly menjelaskan, politik barbar adalah cara berpolitik yang menggunakan tindakan kekerasan untuk mencapai tujuan. Selain itu, model politik barbar juga diwarnai dengan penyebaran kebencian terhadap lawan politik serta berita bohong. “Politik yang barbar adalah politik yang menebarkan kekerasan, memproduksi kebencian kepada lawan politik, serta menebarkan kebohongan-kebohongan,” ujarnya.
Zuly memaparkan, kontestasi dalam Pemilu 2019, terutama terkait pemilu presiden, mulai menunjukkan adanya tanda-tanda persaingan yang keras. Hal itu terutama terlihat dari perdebatan sengit yang terjadi media sosial. “Pertarungan dua pasangan dalam pemilu presiden ini cukup keras, terutama di media sosial,” tuturnya.
Salah satu indikator adanya persaingan keras itu adalah maraknya penyebaran berita bohong di media sosial. Pada masa sekarang, penyebaran berita bohong melalui media sosial sangat mudah dilakukan karena jumlah pengguna media sosial di Indonesia sangat banyak. Selain itu, masih banyak pengguna media sosial yang senang menyebarkan suatu informasi tanpa mengecek apakah informasi tersebut benar atau tidak.
Di sisi lain, menurut Zuly, juga tampak upaya untuk mempolitisasi masalah suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) demi kepentingan politik jangka pendek. Kondisi ini bisa membahayakan karena Indonesia terdiri dari masyarakat yang sangat beragam, baik dalam suku maupun agama. “Ini juga merupakan salah satu contoh cara berpolitik yang barbar,” kata dia.
Siti Ghoniyatun mengatakan, sebenarnya sudah ada sejumlah aturan yang melarang penyebaran berita bohong, produksi ujaran kebencian, serta politisasi SARA dalam pemilu. Dia menyebut, sedikitnya ada tiga undang-undang yang bisa digunakan untuk menjerat orang-orang yang melakukan tindakan semacam itu, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU Informasi dan Transaksi Elektronik, serta UU Pemilu.
“Politisasi SARA serta menyebar kebohongan itu pada prinsipnya mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujar Siti.
Sementara itu, untuk menghadapi cara-cara berpolitik yang tak beradab, Widihasto mengajak generasi muda untuk memperkuat pemahaman tentang nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini agar anak-anak muda tidak mudah dipengaruhi oleh pernyataan-pernyataan atau tindakan dari para politisi yang berupaya mempolitisasi masalah SARA. “Kita harus menyadari, mengelola kemajemukan Indonesia itu tidak mudah,” katanya.