Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah Bertekad Pererat Persaudaraan
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dua organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, bertekad mempererat kerja sama dan persaudaraan satu sama lain demi menjaga keutuhan bangsa dan membangun umat yang moderat dan berkemajuan. NU dan Muhammadiyah juga menegaskan kembali komitmen mereka untuk menegakkan keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan atas Pancasila.
Komitmen dua ormas Islam itu mengemuka dalam kunjungan balasan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ke kantor Pengurus Pusat Muhammadiyah di Jalan Menteng, Jakarta, Rabu (31/10/2018) malam. Rombongan PBNU dipimpin oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, serta didampingi antara lain oleh Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini, Ketua PBNU Robikin Emhas, dan Ketua Umum Gerakan Pemuda Anshor Yaqut Cholil Coumas. Mereka diterima Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dan Sekjen PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti.
Pertemuan dua pemimpin ormas Islam itu berlangsung dalam suasana hangat dan penuh persaudaraan. Rombongan PBNU yang tiba pukul 19.00 dijamu dengan dua menu khusus, yakni nasi liwet solo dan makanan arab. Pertemuan tertutup antara dua pemimpin ormas itu berlangsung sekitar 90 menit.
Haedar mengatakan, kunjungan PBNU ke kantor Muhammadiyah itu merupakan kunjungan balasan. Sebelumnya, pimpinan PP Muhammadiyah juga berkunjung ke kantor PBNU, Mei 2018. Dalam pertemuan kemarin dibahas sejumlah hal penting, terutama menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua ormas juga menyesalkan hukuman mati yang dijatuhkan kepada tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia di Arab Saudi, Tuti Tursilawati, yang dilakukan tanpa notifikasi kepada Pemerintah Indonesia.
”Kami ingin membangun ta’awun (tolong-menolong dalam kebaikan) yang lebih aktif lagi antara NU dan Muhammadiyah. Kami, kan, punya usaha spesifik yang kuat dan NU. NU kuat di pondok pesantren, sedangkan Muhammadiyah kuat di pendidikan dan kesehatan. Muhammadiyah juga sekarang mendirikan pondok pesantren dan NU mengembangkan pendidikan, termasuk pendidikan tinggi. Semangatnya adalah maju bersama,” kata Haedar.
Jalan tengah
Menurut Haedar, sebagai dua organisasi tua yang ikut mendirikan republik, NU dan Muhammadiyah ingin menghadirkan umat yang menganut jalan tengah tetapi berkemajuan dan berkeadaban. Selain itu, NU dan Muhammadiyah berharap ada suasana yang kondusif dalam kehidupan berbangsa, terutama dalam tahun politik ini.
Terkait dengan hal itu, Said menegaskan jati diri dan karakter umat Islam di Indonesia adalah toleran dan pemaaf. Karakter itu mementingkan upaya menjaga persaudaraan daripada mengedepankan perbedaan. Namun, jati diri itu belakangan dalam ancaman karena ada sebagian umat yang menjadi radikal dan berpandangan keagamaan yang keras.
”Belakangan ini kami rasakan ada sesuatu yang aneh, yang asing dari luar. Kok sebagian saudara kita jadi beringas, radikal, dan keras. Sama sekali tidak menunjukkan jati diri umat Islam Indonesia. Umat Islam di Indonesia itu mudah diredam dan pertikaian cepat selesai dibandingkan dengan Timur Tengah yang perang saudara. Keadaan yang semacam ini lebih bisa kita banggakan daripada di Timur Tengah,” kata Said.
Pertemuan antara NU dan Muhammadiyah itu sekaligus menegaskan komitmen kedua ormas untuk menjaga ukhuwah islamiyah (persaudaraan dalam Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan dalam kebangsaan), dan ukhuwah insaniyah (persaudaraan dalam kemanusiaan).
”Mari kita jaga itu. Jika tidak, ancaman disintegritas dan perang saudara itu ada. Saya baca ada yang mengatakan tahun 2024 harus ada khilafah di ASEAN, termasuk di Indonesia. Mudah-mudahan mimpi itu tidak terjadi berkat adanya NU dan Muhamamdiyah yang menjaga empat pilar kebangsaan dulu, sekarang, dan seterusnya,” kata Said.
Islam yang moderat atau wasathiyah, menurut Said, merupakan modal utama bangsa saat berhadapan dengan pengaruh dari luar, atau pihak yang tidak menyenangi Indonesia. Karakter Islam yang semacam itu pun telah menjadi bagian dari budaya Indonesia dan telah diakui oleh dunia.
”Nilai manfaat sebuah bangsa adalah budayanya. Jika budayanya sudah hancur, negara itu akan hancur,” ujarnya.
Menjaga keutuhan
Dalam pertemuan kemarin malam juga dibacakan empat poin pernyataan bersama antara PP Muhammadiyah dan PBNU. Empat poin dibacakan secara bergantian oleh Sekjen PBNU Helmy Faisahal Zaini dan Sekjen PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti.
Empat poin itu ialah komitmen kedua ormas pada keutuhan dan kedaulatan NKRI yang berdasarkan Pancasila sebagai bentuk dan sistem kenegaraan yang islami; mendukung sistem demokrasi dan proses demokratisasi sebagai mekanisme politik kenegaraan dan seleksi kepemimpinan nasional yang dilaksanakan dengan profesional, konstitusional, adil, jujur dan berkeadaban; meningkatkan komunikasi dan kerja sama yang konstruktif untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, membangun masyarakat yang makmur, baik material maupun spiritual, serta peran politik kebangsaan melalui program pendidikan, ekonomi, kebudayaan, dan bidang-bidang strategis lainnya; dan pada tahun politik ini semua pihak agar mengedepankan kearifan, kedamaian, toleransi, dan kebersamaan di tengah perbedaan pilihan politik.