JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi berharap kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan, bisa diungkap oleh kepolisian. Pembentukan tim gabungan pencari fakta bisa menjadi salah satu solusi apabila hal itu dinilai bisa membantu pengungkapan kasus tersebut.
”Kita tetap terus berharap (kasus) itu akan terungkap, cepat atau lambat. Kalau memang pembentukan TGPF dinilai bisa menuntaskan kasus itu, kenapa tidak? Namun, jalan terbaik ialah penyelesaian melalui penegak hukum. Kita bantu saja kepolisian untuk bekerja maksimal,” ujar Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, Jumat (2/11/2018), di Jakarta.
Insiden penyerangan terhadap Novel telah lebih dari 500 hari terjadi, tepatnya 11 April 2017. Mata kiri Novel buta karena penyerangan itu dan dia harus menjalani perawatan di rumah sakit di Singapura. Namun, hingga kini, kepolisian belum menangkap pihak yang bertanggung jawab atas insiden tersebut.
Saut menegaskan, selama ini KPK selalu bekerja sama dengan kepolisian dalam mengungkap kasus itu. Ia meyakini penuntasan kasus itu pun menjadi perhatian dan prioritas kepolisian.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko saat dikonfirmasi mengenai kasus ini juga tak mampu menjawab banyak. Menurut dia, Polri saat ini semestinya yang menyelidiki kasus Novel dan Kepala Polri yang paling memahami perkembangan penyelidikan. Dia juga meyakinkan tak ada kebijakan yang membiarkan kasus ini sengaja tak diungkap.
Moeldoko berharap tidak semua hal harus digantungkan kepada Presiden. ”Masing-masing punya otoritas yang mesti dibereskan di lingkungan kerjanya. Jangan semua Presiden,” ujarnya.
Sebaliknya, Wakil Ketua MPR yang juga Wakil Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nur Wahid mengatakan, tak kunjung tuntasnya kasus Novel membuat publik mempertanyakan keseriusan Polri untuk menuntaskannya.
Publik pun turut mempertanyakan keseriusan pemerintahan Joko Widodo dalam menegakkan hukum. Karena itu, Presiden hendaknya memberikan perhatian terhadap upaya pengungkapan kasus itu oleh Polri, sekaligus kembali mendesak Polri menuntaskannya.
”Beliau (Presiden Jokowi), kan, biasa memberikan ultimatum ke bawahannya. Hal serupa seharusnya dilakukan ke Polri. Polri, misalnya, diberi batas waktu tertentu untuk menyelesaikan kasus Novel. Jika tak bisa, Presiden menyebutkan akan melakukan apa. Ini kalau pemerintah serius menegakkan hukum ya,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Arwani Thomafi mengatakan, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tetap berkomitmen menuntaskan kasus Novel.
Menurut Arwani, proses penyidikan dipercayakan dan diserahkan sepenuhnya kepada kepolisian. Presiden, ujarnya, tidak dalam posisi mengintervensi atau mengarah-arahkan proses penegakan hukum. Akan tetapi, partai-partai pendukung pemerintah tetap menanyakan dan menagih perkembangan upaya penegakan hukum tersebut ke aparat melalui berbagai forum, seperti lewat DPR.
”Sebaiknya kita percayakan saja secara penuh kepada aparat penegak hukum sembari kita ingatkan terus, kita minta sejauh mana progresnya. Jangan sedikit-sedikit memberi cap bahwa aparat tidak serius, aparat tidak netral, aparat diintervensi,” tuturnya.
Ia pun meminta agar penuntasan kasus Novel ini tidak dijadikan senjata politik menjelang pemilihan umum, seolah-oleh Jokowi tidak berkomitmen pada penegakan hukum dan upaya pemberantasan korupsi.
”Kita berkontestasi saja yang baik, tidak usah terus mencari-cari kekurangan lawan. Kalau seperti itu yang terjadi menjelang pemilu, kita akan terus-menerus mengungkap aib dan kejelekan satu sama lain,” ujar Arwani. (AGNES THEODORA W/A PONCO ANGGORO/RINI KUSTIASIH)