JAKARTA, KOMPAS — Peringkat kemudahan berusaha di Indonesia pada tahun 2019 menurun satu peringkat dari ke-72 menjadi ke-73. Penurunan ini salah satunya disebabkan sulitnya pengurusan izin konstruksi dan memulai usaha dalam proses birokrasi. Akibatnya, praktik suap antara pengusaha dan birokrat pun tak terelakan.
Berdasarkan penilaian Bank Dunia pada 2019 dalam hal kemudahan berusaha (ease of doing business), Indonesia menduduki peringkat ke-73 dari 190 negara. Peringkat itu turun satu level dari tahun sebelumnya. Penilaian pun hanya fokus di dua kota besar Indonesia, yakni Jakarta dan Surabaya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, penurunan itu menunjukkan bahwa proses perizinan di Indonesia masih tergolong belum efisien dan transparan. Mengutip dari penilaian Bank Dunia, setidaknya tiga proses perizinan yang masih sulit adalah pengurusan izin konstruksi, memulai usaha, serta peralihan hak atas tanah dan bangunan.
”Ketiga perizinan itu ada di bawah kontrol pemerintah daerah. Birokrasi kita masih lama dalam prosedur, (pengajuan izin) sering menggantung. Bahkan, kerap ada negosiasi (dengan pengurus izin) yang sebenarnya tak perlu agar uang datang,” ujar Robert di Jakarta, Kamis (8/11/2018).
Praktik itulah yang kerap membuat birokrat dan pengusaha jatuh dalam tangkapan Komisi Pemberantasan Korupsi. Berdasarkan data KPK, setidaknya, sejak 2014-Juni 2018, kasus korupsi di pemerintah kabupaten kabupaten/kota bisa mencapai 242 kasus, sedangkan di pemerintah provinsi ada 116 kasus.
Khusus tahun 2018, jenis kasus korupsi terbesar terjadi di proyek pembangunan (12 kasus), kemudian jual-beli jabatan (3 kasus), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (3 kasus), dan izin proyek (2 kasus).
Robert menjelaskan, kasus korupsi itu terjadi karena perspektif para pengusaha dan birokrat tidak sama. Para pengusaha berorientasi pada hasil, sementara mereka dihadapkan pada proses birokrasi yang cenderung berbelit.
”Repotnya, sikap pragmatis para pelaku usaha ketemu dengan cara kerja birokrasi kita yang lama prosedur, bahkan cacat prosedur. Di situlah pungli dan korupsi terjadi,” tutur Robert.
Tak sama
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Perkasa Roeslani menuturkan, peringkat kemudahan berusaha di Indonesia tidak bisa digeneralisasi di seluruh daerah karena penilaian Bank Dunia hanya di dua kota besar di Indonesia. Nyatanya, para pengusaha di daerah masih mengalami sejumlah kesulitan dalam proses perizinan.
”Yang sangat dikeluhkan para pengusaha, baik dari luar negeri maupun lokal, adalah belum adanya harmonisasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah. Jadi, di pemerintah pusat sudah jelas persyaratannya, tetapi di daerah ada syarat tambahannya lagi. Itu yang buat iklim investasi di daerah tak sehat,” kata Rosan.
Dalam situasi itulah, Rosan mengaku, para pengusaha kerap memilih jalur cepat agar proses perizinan cepat keluar. ”Proses-proses perizinan itu, kan, seharusnya serba cepat dan terukur. Tetapi, ini kadang-kadang di pemerintah daerah tak tahu berapa lama kami bisa dapat,” ujar Rosan.
Karena itu, Rosan berharap semua proses perizinan segera terdigitalisasi. Dengan begitu, proses dapat lebih efisien dan transparan. ”Jadi mengurangi perjumpaan antara regulator dan para pengusaha. Dengan begitu, kan, akan tereduksi sekali kemungkinan penyimpangan-penyimpangan. Semua prosedur jadi jelas,” ujarnya.
Secara terpisah, Kepala Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara (LAN) Hary Supiradi juga mengaku bahwa semangat reformasi birokrasi di daerah masih rendah. Menurut dia, hal yang paling membahayakan adalah apabila iklim praktik suap itu ternyata secara sengaja telah diciptakan oleh birokrat sendiri.
Hal itu bisa saja terbukti jika dikaitkan hasil data Badan Pusat Statistik yang menunjukkan Indeks Perilaku Anti-Korupsi (IPAK) 2018 mencapai 3,66. Angka itu sedikit turun dari tahun 2017 yang mencapai 3,71. Dalam skala 0-5, semakin besar nilai, semakin tinggi sikap antikorupsi. Nilai 3,66 masuk dalam kategori antikorupsi, tetapi belum mencapai kategori sangat antikorupsi (3,76 hingga 5). Pemerintah menargetkan pada tahun 2019, IPAK bisa mencapai angka 4.
Selain itu, persentase masyarakat yang memberikan uang atau barang melebihi ketentuan dan menganggap hal itu lumrah juga naik dari 18,06 persen menjadi 19,61 persen pada 2018.
”Kadang-kadang situasi atau iklim (pengurusan izin) yang sulit itu sengaja diciptakan supaya orang sulit dan nanti muncul peluang tawar-mengawar. Itu sangat berbahaya sekali bagi reformasi birokrasi,” kata Hary.