JAKARTA, KOMPAS — Berputarnya roda kegiatan partai politik diduga berasal dari suap yang dikumpulkan para politisi melalui berbagai proyek yang dibahas di parlemen. Salah satunya pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1 yang dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan Partai Golkar.
Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (15/11/2018), tim jaksa dari Komisi Pemberantasan Korupsi kembali memperlihatkan bukti percakapan via Whatsapp antara pengusaha Johannes Budi Sutrisno Kotjo dan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih. Dalam sejumlah percakapan, Eni aktif meminta uang kepada Kotjo untuk kegiatan partai, keperluan pilkada, hingga menjadi perantara Idrus Marham.
Berdasarkan bukti yang diperlihatkan dalam sidang pemeriksaan untuk terdakwa Kotjo, Eni memulai pembicaraan pada 25 November 2017 dengan mengatakan bahwa Idrus membutuhkan bantuan Kotjo untuk mengonsolidasikan DPD I. Hal itu dilakukan agar Idrus, yang saat itu menjabat Sekretaris Jenderal Partai Golkar, dapat naik menjadi Plt Ketua Umum Partai Golkar, menggantikan Setya Novanto yang menjadi tersangka dalam kasus pengadaan kartu tanda penduduk elektronik.
Eni meminta 400.000 dollar Singapura yang akan dibagikan 10.000 dollar Singapura per DPD I dan penyerahannya dilakukan segera pada malam yang sama di Hotel Sultan. Namun, saat itu, Kotjo tidak menyanggupinya dengan alasan bank tutup saat akhir pekan sehingga menjanjikan paling cepat hari Selasa.
”Jadi, maksudnya ini untuk pleno sekretaris jenderal jadi Plt Ketua Umum? Pengganti Pak SN?” tanya Jaksa Ronald Worotikan.
”Pak SN, kan, sudah ditahan KPK. Jadi waktu itu untuk mengonsolidasikan itu perlu 400.000 (dollar Singapura). Ada 40 orang itu, masing-masing 10.000. Nah saya bilang, enggak bisa caranya begitu. Minta uang begitu, langsung harus. Pertama, sudah weekend dan sudah malam. Akhirnya saya bilang paling cepat minggu depan. Tapi hubungannya untuk munaslub, Pak,” jawab Kotjo.
Pemberian itu akhirnya terealisasi pada 5 Desember, tetapi dalam bentuk cek sebesar Rp 2 miliar. Kotjo tidak sepakat jika pemberian kepada Eni tersebut dikategorikan suap.
”Itu sebagai sumbangan. Pemberian saya Rp 2 miliar itu pakai cek. Kalau saya tahu ini pidana, enggak mungkin saya pakai cek. Cukup sering juga (diminta sumbangan). Ada orang partai, ada juga orang lain,” tutur Kotjo.
Eni juga meminta Rp 2 miliar lagi kepada Kotjo melalui pesan Whatsapp pada 12 Maret 2018. Ia meminta dibantu untuk suaminya yang maju dalam Pilkada Temanggung. Uang sebesar Rp 2 miliar diperuntukkan bagi mesin partai.
Sebulan sebelum pilkada, Eni kembali menghubungi Kotjo meminta Rp 10 miliar. ”Tapi saya enggak bisa kasih Rp 10 miliar. Saya kasih Rp 250 juta,” ungkap Kotjo.
Kotjo pun mengakui dirinya menjanjikan imbalan bagi Eni yang telah mengenalkannya kepada Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir. Akan tetapi, Kotjo mengatakan, janji tersebut hanya berupa persentase, yakni sebesar 2,5 persen dari nilai proyek yang nanti diperoleh. ”Di BAP ada bilang Rp 7,5 miliar. Rencananya akan kasih berapa?” tanya Ronald.
”Sebenarnya saya tidak merencanakan berapa. Tapi saya ditanya penyidik, kalau harus kasih ke EMS itu berapa? Saya jawab, ya, 500.000 (dollar AS) kali. Sama dengan Rp 7,5 miliar itu,” kata Kotjo.
Dalam catatan Kotjo, Novanto juga kecipratan sebesar 6 juta dollar AS bersama dengan dirinya dan rekan usaha bernama Andreas Rinaldi.
Ketika ditanya alasan Novanto memperoleh jatah fee yang sangat besar, Kotjo menilainya sebagai ucapan terima kasih. ”Saya sama beliau sudah berkawan lama. Mungkin ada 30 tahun. Jadi, saya juga berterima kasih sama dia. Karena beliau yang menghubungkan dengan Sofyan dan Eni. Jadi, saya kasih,” ujar Kotjo.
Kotjo sendiri didakwa jaksa menyuap Eni sebesar Rp 4,7 miliar untuk memuluskan jalan memperoleh proyek PLTU Riau-1 bernilai 900 juta dollar AS ini. Ketua majelis hakim Lukas Prakoso pun menjadwalkan agenda pembacaan tuntutan pada pekan depan.