JAKARTA, KOMPAS - Apabila dibiarkan berlarut-larut, dinamika yang kini terjadi dengan Partai Demokrat bisa merugikan pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Pemilu Presiden 2019. Kemampuan untuk mengelola berbagai kepentingan partai politik pendukungnya kini menjadi tantangan pasangan itu.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris, Jumat (16/11/2018), di Jakarta mengatakan, pemimpin kedua partai, yaitu Prabowo dan Susilo Bambang Yudhoyono, perlu duduk bersama untuk membicarakan strategi paling tepat dalam menghadapi persoalan yang ada.
”Prabowo harus meyakinkan Demokrat untuk tetap loyal, sebagai konsekuensi berkoalisi. Mereka juga memiliki tanggung jawab moral untuk memberi teladan baik bagi publik,” ujarnya.
Ia menambahkan, konflik saat ini juga bisa memengaruhi elektabilitas dan perolehan suara Prabowo-Sandiaga di Pemilu 2019. Sebab, Partai Demokrat adalah partai terbesar kedua dalam koalisi Prabowo. Jika mesin Partai Demokrat tidak bekerja maksimal untuk pemenangan pada pemilihan presiden, hal itu dapat merugikan perolehan suara Prabowo-Sandiaga.
Konflik saat ini juga bisa memengaruhi elektabilitas dan perolehan suara Prabowo-Sandiaga di Pemilu 2019. Sebab, Partai Demokrat adalah partai terbesar kedua dalam koalisi Prabowo. Jika mesin Partai Demokrat tidak bekerja maksimal untuk pemenangan pada pemilihan presiden, hal itu dapat merugikan perolehan suara Prabowo-Sandiaga
Koalisi Prabowo-Sandiaga terdiri dari Partai Gerindra (73 kursi parlemen), Partai Demokrat (61 kursi), Partai Amanat Nasional (49 kursi), dan Partai Keadilan Sejahtera (40 kursi).
”Secara kekuatan, Demokrat itu kedua paling besar sesudah Gerindra. Jadi, sebetulnya Prabowo juga sangat membutuhkan dukungan solid dari Demokrat, dan seharusnya Demokrat juga berkomitmen mendukung,” kata Syamsuddin.
Relasi Demokrat dan Gerindra mulai terusik ketika Demokrat memilih memprioritaskan pemenangan partainya daripada Prabowo-Sandiaga. Dalam acara pembekalan caleg Demokrat, 1-11 November lalu, caleg Demokrat dibebaskan untuk tak mengampanyekan Prabowo-Sandiaga.
Gerindra pun menilai sikap Demokrat pragmatis. Kedua kubu saling menagih janji dan menyerang di media massa dan media sosial. Terakhir, Yudhoyono pada Kamis lalu menegaskan sikapnya melalui Twitter bahwa Demokrat memang mengutamakan kemenangan partainya pada 2019 (Kompas, 16/11/2018).
Menahan diri
Wakil Ketua Dewan Syura Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nur Wahid meminta Gerindra dan Demokrat sama-sama menahan diri dan mengingat bahwa kedua partai tersebut masih berada dalam satu koalisi.
Menurut dia, akan lebih baik jika semua pimpinan partai politik pengusung Prabowo-Sandi segera bertemu. Ini penting untuk menyegarkan kembali semangat dan komitmen berkoalisi, yaitu memenangkan Prabowo-Sandiaga di Pilpres 2019. Bersamaan dengan itu, mencari cara agar semua partai pengusung bisa meraih hasil optimal di Pemilu Legislatif 2019.
”Sangat wajar kalau Pak Prabowo yang menginisiasi pertemuan tersebut. (Namun sebelum itu) bisa saja Pak Prabowo bertemu bilateral terlebih dulu dengan Pak SBY,” tambahnya.
Dia meyakini tak ada persoalan prinsip antara Gerindra dan Demokrat. ”Itu hanya persoalan komunikasi yang (solusinya) perlu dikembalikan kepada semangat besar yang mendasari terbentuknya koalisi kita,” ujarnya.
Wakil Sekjen Partai Demokrat Renanda Bachtar mengatakan, Demokrat masih menunggu keseriusan Prabowo dan Sandiaga memenuhi janjinya. Itu menjadi syarat terselenggaranya pertemuan antara elite Demokrat dan Gerindra.
Janji itu, menurut Renanda, di antaranya menyerahkan dokumen visi-misi pilpres, memaparkan hasil survei elektabilitas Prabowo-Sandiaga untuk berbagi tugas pemenangan di antara partai koalisi, serta membahas strategi dan berbagi jadwal kampanye antara Sandiaga dan Agus Harimurti Yudhoyono.