Membangun industri pertahanan tidak hanya membutuhkan waktu panjang. Diawali dengan visi, membangun industri nasional butuh komitmen dan resep yang pas. Dari berbagai upaya yang berasal dari semua arah, penelitian dan pengembangan menjadi salah satu dasar yang harus dibangun sejak masa awal.
Hal ini belajar dari beberapa negara, seperti Korea Selatan dan Turki, yang sudah lebih maju beberapa langkah dari Indonesia saat ini. Hal ini terungkap dalam seminar yang digagas Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) dengan tema ”Enhancing Energy among the Government, Defence Industry, and Users towards the Self-Sufficiency of Fulfilling the Defence and Security Equipment” pada Kamis (8/11/2018) di sela-sela Indo Defence 2018.
Ketua Tim Pelaksana KKIP Laksamana (Purn) Soemardjono mengatakan, ketergantungan Indonesia akan produk impor masih besar. Soemardjono mengatakan, dibutuhkan industri pertahanan yang kuat dan mandiri untuk membangun postur pertahanan. Sementara untuk membangun industri pertahanan yang kuat, perlu manajemen visioner, tata kelola pemerintahan yang baik, sumber daya manusia idealis, dan intelektualitas yang tinggi. ”Di sini kita hadirkan negara-negara yang sukses membangun industri pertahanan,” kata Soemardjono.
Wakil Presiden Industri Pertahanan Turki Serdar Demirel mengatakan, saat ini Turki memiliki 958 pusat litbang untuk industri pertahanan. Pusat-pusat litbang ini yang memberi masukan kepada industri pertahanan. Menurut Serdar, saat ini ada 600 perusahaan industri pertahanan swasta. Ia mengatakan, industri pertahanan Turki dibangun sejak 1985 ketika Turki masih hanya membeli peralatan perangnya. Pada 2004, Turki telah ikut serta dalam konsorsium internasional dengan negara-negara Uni Eropa. ”Di semua negara, anggaran litbang pasti terbatas. Saran saya, fokuskan anggaran pada satu aspek, lalu terus menggali untuk mendapatkan teknologi mandiri di aspek itu,” katanya.
Pentingnya litbang juga disampaikan Gang Eun-ho dari Defence Acquisition Program Administration (DAPA) Korea Selatan. Ia mengatakan, Korsel membangun industri pertahanan dengan mendirikan Agency of Defence Development (ADD) pada 1970 sebagai litbang. Pada 2018, anggaran riset pertahanan Korsel naik 2,7 kali lipat dari tahun 2006 menjadi 2,62 miliar dollar AS (Rp 38 triliun). Di sisi lain, penjualan senjata juga meningkat 2,7 kali lipat dari tahun 2006 menjadi Rp 195 triliun. ”Kini ada lebih dari 3.000 peneliti yang bekerja di ADD,” kata Gang Eun-ho.
Mengubah undang-undang
Diawali dengan mengubah undang-undang seperti Turki, industri pertahanan Korsel dimulai dengan membuat senjata konvensional. Baru 20 tahun kemudian, mereka membuat pesawat latih KT-1 dan meriam artileri Howitzer. Sejalan dengan perubahan militer Korsel menjadi militer digital, pemerintah menggiatkan hubungan sipil-militer untuk meningkatkan kemampuan litbang. ”Upaya ini yang membuat perkembangan signifikan industri pertahanan Korea tahun 2000-an dan mulai ekspor senjata,” katanya.
Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan terkait pengembangan teknologi. Dirut PT PAL Budiman Saleh mengatakan, Indonesia masuk 10 importir terbesar senjata. Menurut Budiman, litbang adalah sebuah keharusan. Realitasnya, teknologi selalu dilindungi negara pembuatnya. Solusi yang ia tawarkan adalah kerja sama di antara kampus, industri pertahanan, dan pengguna. Selain itu, juga perlu ada perbaikan pengembangan SDM. Terkait biaya, hal ini bisa diatasi dengan kolaborasi dan masuk dalam rantai pasok global. ”Perlu juga sinkronisasi di antara anggaran, rencana pembelian, dan peta jalan industri pertahanan,” kata Budiman.
Kini, kolaborasi pemangku kepentingan membangun litbang harus berjalan untuk membangun industri pertahanan yang unggul.