JAKARTA, KOMPAS Membangun sistem yang transparan dan akuntabel mendesak dilakukan untuk mencegah praktik korupsi dan nepotisme di sejumlah kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Pada saat yang sama, penguatan pengawasan juga mesti dilakukan, baik secara internal maupun eksternal.
Namun, rencana memperkuat pengawasan, seperti dengan memperkuat aparatur pengawas internal pemerintah (APIP) melalui revisi Rancangan Undang- Undang (RUU) Sistem Pengawasan Internal Pemerintah (SPIP), sampai saat ini masih belum jelas. Revisi UU itu dinilai berpotensi melanggar Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara. Hal ini karena di kedua UU itu ditulis bahwa pengawasan birokrasi hanya bisa dilakukan oleh internal pemerintah, sedangkan revisi RUU SPIP menginginkan pengawasan ada di eksternal pemerintah.
Terkait hal itu, rencana memperkuat APIP dalam waktu singkat melalui revisi Peraturan Pemerintah No 18/2016 tentang Perangkat Daerah. Namun, sampai saat ini, revisi PP itu belum juga selesai dilakukan.
Di tengah kondisi ini, korupsi ditengarai masih marak. Sepanjang tahun 2018 ini sudah 27 kepala daerah yang diproses hukum KPK. Kemudian, mengacu pada hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) 2017, banyak kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah yang masih memiliki problem integritas.
SPI memakai skala 0-100. Semakin mendekati 100 menunjukkan integritas yang semakin baik dengan risiko korupsi semakin rendah. Dari 36 kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah, hanya 15 instansi yang mempunyai skor lebih dari 66 atau di atas rata-rata. Ironisnya, institusi yang skornya di atas rata-rata ini pun masih memiliki persoalan integritas yang berkaitan dengan suap, gratifikasi, dan nepotisme.
Sistem
Koordinator Unit Kerja Koordinasi, Supervisi, dan Pencegahan KPK Asep Rahmat Suwanda di Jakarta, Kamis (22/11/2018), mengatakan, sejumlah sistem telah diciptakan dan dapat diadopsi untuk membangun transparansi dan integritas. Salah satunya terkait dengan pengelolaan APBD. Dalam perizinan juga sudah ada pelayanan terpadu satu pintu. Sementara terkait pengadaan barang dan jasa juga sudah dibangun unit layanan pengadaan.
Namun, dalam praktiknya, lanjut Asep, masih banyak celah dalam sistem-sistem tersebut yang dapat diterobos untuk melakukan korupsi.
Terkait hal itu, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko menyampaikan, sistem yang ada harus diiringi dengan adanya pengawasan yang ketat, baik secara internal maupun eksternal. Hal ini, antara lain, dapat dilakukan dengan memperkuat APIP. ”Sebaiknya APIP diperankan pihak luar, misalnya BPKP,” kata Dadang.
Hal ini, menurut Wakil Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi PDI-P Arif Wibowo, dapat ditempuh dengan mempercepat penyelesaian RUU SPIP. ” Kami berharap pemerintah segera menyelesaikan draf dan naskah akademiknya, lalu diserahkan kepada DPR,” katanya.
Legislasi
RUU SPIP sebenarnya sudah dirumuskan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi sejak kementerian itu dipimpin Azwar Abubakar (2011-2014). RUU SPIP juga termasuk salah satu RUU di Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019. Namun, setiap kali pembahasan Prolegnas tahunan antara DPR dan pemerintah, RUU itu tidak pernah masuk di dalamnya. Ini termasuk saat pembahasan Prolegnas Tahun 2019 pada bulan lalu. Pemerintah tidak mengajukannya sebagai salah satu RUU yang perlu masuk di Prolegnas 2019.
Pelaksana Tugas (Plt) Inspektur Jenderal Kementerian Dalam Negeri Sri Wahyuningsih mengatakan, revisi RUU SPIP tidak memungkinkan karena akan melanggar UU No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah dan UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara. Di kedua UU tersebut ditulis bahwa pengawasan birokrasi hanya bisa dilakukan internal pemerintah. Sementara di revisi RUU SPIP, pengawasan ada di eksternal pemerintah.
Menurut Sri, penguatan APIP saat ini hanya mungkin lewat revisi Peraturan Pemerintah No 18/2016 tentang Perangkat Daerah.
Dalam revisi itu, APIP akan diberikan kewenangan untuk menginvestigasi dugaan praktik korupsi di daerah tanpa seizin kepala daerah. Laporan investigasi tersebut pun langsung dilaporkan kepada Menteri Dalam Negeri. Selain itu, APIP juga akan diangkat Mendagri. ”Jadi, kepala daerah tidak berhak memecat. Independensi APIP pun lebih terjaga,” kata Sri.
Namun, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, Asep Warlan Yusuf berpendapat, penguatan APIP tidak cukup hanya lewat revisi PP. Revisi SPIP menjadi sebuah keharusan.
”Jika ada UU yang bertabrakan, yang dipakai UU paling baru. Yang baru mengesampingkan yang lama,” ujarnya.