JAKARTA, KOMPAS — Dalam mutasi jabatan pimpinan tinggi instansi pemerintah daerah dan pusat masih ada sejumlah masalah. Masalah itu terjadi, baik dalam seleksi terbuka maupun politisasi kebijakan.
Permasalahan itu terekam dalam studi kasus sistem merit di Kota Medan (Sumatera Utara), Kabupaten Jember (Jawa Timur), dan Kabupaten Bima (Nusa Tenggara Barat). Penelitian dilakukan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) dari Maret sampai Juni 2018.
Peneliti Fitra, Gunardi Ridwan, Selasa (4/12/2018), di Jakarta, mengatakan, potret tiga daerah itu merefleksikan pelaksanaan sistem merit dalam mutasi jabatan pimpinan tinggi masih bermasalah. Salah satu akar masalahnya, pemerintah belum melibatkan sepenuhnya Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dalam proses mutasi aparatur sipil negara (ASN) tersebut.
”Sering kali masalah jenjang karier masih ditemui di daerah. Sistem merit pun tak lepas dari kepentingan politik dan rawan penyimpangan,” ujar Gunardi dalam seminar dan peluncuran buku Meluruskan Arah Reformasi Birokrasi di Indonesia.
Gunardi mencontohkan, di Kota Medan ditemukan pembentukan panitia seleksi oleh pejabat pembina kepegawaian (PPK) atau kepala daerah. Koordinasi dengan KASN sebagai pengawas hanya sebatas pengiriman daftar riwayat hidup peserta seleksi jabatan pimpinan tinggi. Hal serupa terjadi di Kabupaten Bima.
Di Kabupaten Jember, kata Gunardi, ditemukan 10 jabatan yang tidak sesuai dengan kompetensi dan minimnya mekanisme keterlibatan masyarakat dalam proses seleksi. Selain itu, ada masalah administrasi di mana pejabat dilantik tanpa surat keterangan mutasi dari PPK tingkat provinsi.
Dalam buku itu pula, riset di tiga kabupaten/kota dikumpulkan bersamaan dengan pandangan soal reformasi birokrasi dari sejumlah akademisi. Acara peluncuran buku ini dihadiri Wakil Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Medelina K Hendytio, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng, komisioner KASN Prijono Tjiptoherijanto, dan Sekretaris Jenderal Fitra Akhmad Misbakhul Hasan.
Reformasi birokrasi
Medelina mengatakan, sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, seharusnya proses seleksi terbuka melibatkan KASN. Kehadiran KASN untuk mengoreksi penyimpangan-penyimpangan dalam pengelolaan ASN. Ketidakhadiran pengawas, menurut Medelina, membuat sistem merit rawan terjadi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
”Tentu saja persoalan pengawasan penting karena praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam sistem merit itu masih banyak terjadi. Ini yang membuat reformasi birokrasi kita jalan di tempat,” kata Medelina.
Berdasarkan data KASN, dari 2016 hingga Maret 2018, KASN menerima 115 aduan. Aduan itu tersebar di 12 kota dan 69 kabupaten. Prijono menyebutkan, pelanggaran rentan terjadi karena sistem merit kerap di luar kontrol KASN. ”Kami mengontrolnya hanya sebatas periksa CV. Jadi, tak terlalu masuk ke dalamnya. Paling tidak taat pada peraturan ini di pemerintah pusat,” katanya.
Apabila ditemukan pelanggaran, KASN hanya bisa sebatas memberikan rekomendasi. Surat rekomendasi pun diberikan kepada PPK yang kerap malah dibiarkan saja.
”Kami tak diberi kewenangan sama sekali untuk langsung menghukum PPK, hanya sebatas rekomendasi. Jadi, kami tidak punya cukup kekuatan,” ujar Prijono.
Tim ahli
Robert mendorong agar setiap instansi memiliki pengawas dan tim ahli dalam tim panitia seleksi terbuka jabatan pimpinan tinggi agar proses mutasi lebih transparan dan bebas praktik KKN.
”Tim itu akan mengawasi dari hulu sampai hilir, sejak perekrutan pansel sampai proses perekrutan, hingga pada hasilnya,” ujar Robert.
Menurut Robert, seharusnya PPK juga tidak dijabat kepala daerah, tetapi sekretaris daerah. Dengan begitu, pengelolaan aparatur sipil negara terlepas dari politisasi jabatan.