JAKARTA, KOMPAS — Isu agama yang kerap digunakan elite politik merupakan konsekuensi dari kurangnya pemahaman umat terhadap agama masing-masing. Diperlukan sikap beragama yang kritis dan pemahaman teks kitab suci yang relevan dengan kondisi terkini dalam menyikapi permasalahan ini.
Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Gomar Gultom mengatakan, seharusnya nilai-nilai substantif agama yang dibawa dalam kehidupan berpolitik di Indonesia. Nilai seperti kejujuran, keadilan, dan toleransi dapat memperbaiki cara berpolitik di negara menjadi lebih santun dan baik.
Selama ini, agama masih menjadi komoditas ”panas” yang digunakan calon anggota legislatif ataupun pemimpin negara menjelang tahun politik. Ujaran kebencian atau berita-berita palsu yang menyudutkan salah satu golongan dikeluarkan untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya. Seluruh tindakan tersebut dinilai sah atas nama agama yang dipeluk seseorang demi memenangkan calon pilihannya.
Hal ini menandakan umat beragama di Indonesia baru memahami ”kulit luar” dari agamanya. Mereka tidak membawa contoh-contoh positif dalam agamanya ke ranah politik.
”Pemahaman yang masih minim akan mengurangi toleransi antarumat dalam kehidupan masyarakat dan berpotensi memecah kesatuan bangsa,” ujar Gomar saat dihubungi pada Jumat (7/12/2018) sore di Jakarta.
Apabila dibiarkan terus-menerus, hal tersebut akan berbahaya bagi agama di masa depan. Agama akan ditinggalkan umatnya karena hanya digunakan sebagai kendaraan politik praktis.
Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Masduki Baidlowi berpendapat, masih lazimnya masalah agama menjadi mainan politik adalah karena perkembangan pesat teknologi. Umat beragama dinilai belum siap menghadapi kemajuan teknologi.
Seiring dengan perkembangan media sosial dan media massa, semakin banyak konten negatif memojokkan salah satu kalangan. Umat hanya berperan sebagai obyek, yaitu menerima dan membaca berita apa pun yang ada di hadapan mereka.
”Akibatnya, mereka terpapar berita yang tidak bermutu dan tidak mendidik,” ujar Masduki.
Selain itu, perkembangan informasi yang cepat juga membawa Indonesia ke era post truth. Saat ini, kebanyakan pemberitaan lebih bersifat opini salah satu pihak dibandingkan fakta lapangan. Perspektif ini dimanfaatkan tokoh politik untuk memelintir isu guna menguntungkan pihaknya, termasuk agama.
Membanjirnya opini pada kanal berita menyebabkan terjadinya perubahan pola relasi interpersonal secara politis. Masyarakat akan lebih mudah menyatu jika memiliki pandangan yang sama terhadap sebuah isu. ”Seperti sekarang, agama masih sering dipelintir demi kepentingan politik jangka pendek,” lanjut Masduki.
Gomar menambahkan, harus ada sikap kritis dari umat beragama dalam menanggapi sebuah isu politis yang tengah beredar. Mereka tidak boleh mencerna begitu saja perkataan atau perbuatan yang dilakukan seorang pemuka agama atau tokoh-tokoh politik. Umat juga harus dapat menentukan sikap politiknya secara mandiri, tidak dipengaruhi oleh faktor agama.
”Kita harus beragama dengan cerdas. Apa iya agama mengajarkan hal-hal buruk seperti membenci orang yang memiliki keyakinan berbeda dengannya?” ucapnya.
Selain itu, pemuka agama juga perlu mendidik umatnya agar beragama dengan cerdas. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah memahami teks-teks suci sesuai dengan keadaan negara Indonesia saat ini. Seluruh teks kitab suci pada semua agama dan kepercayaan pada dasarnya diturunkan dalam konteks tertentu.
”Konteks tersebut tidak bisa langsung digunakan begitu saja dengan kondisi Indonesia saat ini. Penafsiran harus dipikirkan bersama-sama oleh pemuka agama dan pemimpin bangsa,” ujar Gomar.
Hal ini diamini oleh Masduki. Diperlukan adanya jembatan yang menghubungkan teks kitab suci dengan konteks kehidupan sosial-politik Indonesia saat ini. Apabila ayat-ayat dalam sebuah kitab suci hanya dipahami dalam bentuk teks, umat salah satu agama dapat menyalahkan kalangan lain.
”Pemahaman teks tanpa konteks seperti ini yang masih terjadi di Indonesia,” ucapnya.
Ditemui di tempat terpisah, pendiri Yayasan True Buddha, Dharmaraja Lian Sheng, menekankan pentingnya toleransi antarumat beragama. Pada dasarnya, seluruh manusia diciptakan sederajat dan hendaknya semua orang dari agama apa pun saling menghormati satu sama lain. (LORENZO ANUGRAH MAHARDHIKA)