JAKARTA, KOMPAS — Gencarnya pembukaan lahan dan pembangunan infrastruktur berdampak terhadap kenaikan angka konflik agraria di Indonesia. Pembentukan lembaga independen khusus untuk menangani pertentangan ini dapat menjadi salah satu jalan keluar.
Hal itu mengemuka dalam pemaparan yang dilakukan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik pada acara peringatan Hari Hak Asasi Manusia Internasional pada Senin (10/12/2018) siang di Jakarta. Dalam acara tersebut turut hadir Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Agus Widjojo, dan Kepala Divisi Hukum Polri Brigadir Jenderal (Pol) Mas Guntur Laupe.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Komnas HAM, sepanjang tahun 2018 sebanyak 1.062 berkas pengaduan yang diterima merupakan berkas seputar konflik agraria. Jumlah tersebut meningkat hampir empat kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebanyak 269 kasus.
Taufan mengatakan, kenaikan jumlah masalah ini salah satunya disebabkan oleh meningkatnya jumlah investasi ke Indonesia pada berbagai bidang seperti perkebunan dan pertambangan. Namun, tingginya investasi tidak dibarengi dengan kepedulian pemodal terhadap hak-hak warga yang telah tinggal di sana sebelumnya.
Kurang pedulinya pemodal juga kerap diikuti dengan pemerintah daerah ataupun pusat. Pemerintah setempat cenderung membela investor dan dengan mudah meminggirkan warga kendati dari aspek legal normatif penduduk di sana belum memiliki sertifikat tanah yang menandakan kepemilikan lahan.
”Seharusnya hal itu menjadi pertimbangan pihak yang terlibat. Tidak adanya sertifikat tidak bisa dijadikan alasan,” ujar Taufan.
Selain itu, pihak pemodal dan pemerintah kurang melibatkan warga setempat soal pembangunan sebuah tempat seperti perkebunan dan pertambangan. Seharusnya mereka mengajak penduduk berdialog untuk membahas efek-efek yang kemungkinan akan timbul dengan adanya pembukaan lahan.
Sofyan melanjutkan, diperlukan adanya mekanisme penyelesaian perkara reforma agraria secara sistematis. Pembentukan lembaga independen yang khusus menangani masalah tersebut dapat menjadi salah satu cara.
Pembuatan lembaga tersebut wajib mengajak berbagai kelompok, termasuk masyarakat sipil. Keterlibatan warga dibutuhkan agar aturan dan ketentuan yang akan dimasukkan ke dalam lembaga tersebut tidak merugikan pihak-pihak yang nantinya akan melaporkan masalahnya.
”Penyelesaian kasus harus berbeda pada tiap bidang agar tidak menimbulkan kebingungan dan misinterpretasi hukum yang berlaku,” ungkapnya.
Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM Sandrayati Moniaga menambahkan, reformasi agraria tidak akan dapat berjalan optimal jika konflik pada sebuah lahan tidak diselesaikan secara komprehensif. Penyelesaian ini amat penting dalam mendukung program redistribusi lahan yang dicanangkan Presiden Joko Widodo.
Reformasi agraria tidak akan dapat berjalan optimal jika konflik pada sebuah lahan tidak diselesaikan secara komprehensif.
Lebih lanjut, pemerintah perlu memastikan konsistensi konsep dan pelaksanaan program reforma agraria di Indonesia sesuai dengan Ketetapan MPR (Tap MPR) Nomor IX/MPRRI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam serta Undang-Undang dan hukum HAM yang berlaku.
Sementara itu, Sofyan mengakui permasalahan konflik agraria belum ditangani secara sistematis oleh negara. Pihak yang bertikai dalam masalah ini terhalang sistem peradilan yang kurang efektif.
”Mereka bisa menang di pengadilan perdata, tapi bisa saja kalah di pengadilan tata usaha negara, atau bisa sebaliknya,” kata Sofyan.
Saat ini, pemerintah tengah melakukan sejumlah upaya untuk mengurangi angka konflik agraria. Salah satu caranya dengan menggalakkan pemberian sertifikat tanah kepada para pemilik lahan. Tahun lalu, pemerintahan Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan sekitar lima juta surat tanah kepada warga di Indonesia.
Tahun ini, Sofyan menargetkan tujuh juta sertifikat hak milik tanah akan diberikan kepada pemilik tanah di Indonesia. Sementara pada 2019 sejumlah sembilan juta surat tanah dapat diberikan.
”Tanah yang belum terdaftar berpotensi memicu konflik antarwarga atau antara warga dan lembaga lain. Kami harap kasus-kasus semacam ini (konflik agraria) dapat dikurangi,” kata Sofyan.
Selain itu, pemberian sertifikat tanah akan memungkinkan warga memperoleh kredit usaha ke bank. Pinjaman dapat digunakan sebagai modal awal untuk membuka usaha pada tanah yang dimiliki.
Upaya lain yang dilakukan adalah penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan untuk mempercepat reforma agraria melalui legalisasi obyek agraria di kawasan hutan. Dengan peraturan tersebut, masyarakat yang tinggal pada kawasan hutan dapat memanfaatkan lahan dengan syarat fungsi hutan tetap terjaga. (LORENZO ANUGRAH MAHARDHIKA)