Upaya pemberantasan korupsi seharusnya dimulai sejak penyelidikan hingga pembacaan amar putusan. Kesamaan besaran hukuman yang dijatuhkan hakim pada perkara korupsi dengan jumlah kerugian negara yang berbeda menyentil rasa keadilan. Untuk itu, pedoman pemberian hukuman diperlukan sebagai koridor tanpa mengurangi kemandirian dan kebebasan hakim.
Hasil penelitian Indexa, perusahaan analisis data hukum, menunjukkan disparitas pemidanaan terhadap perkara korupsi yang diadili sepanjang 2011-2015 di pengadilan tingkat pertama. Terdapat rata-rata putusan pidana penjara yang hampir sama pada perkara korupsi yang rentang kerugiannya jauh berbeda.
Dari 106 terdakwa korupsi yang dituntut dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terdakwa yang terjerat perkara korupsi dengan kerugian lebih besar dari Rp 3,25 miliar hingga Rp 3,5 miliar mendapat rata-rata pidana penjara tertinggi 120 bulan. Sementara terhadap terdakwa korupsi yang merugikan negara lebih dari Rp 5 miliar, rata-rata pidana penjara yang dijatuhkan hakim jauh di bawah, yakni 67,71 bulan.
Bahkan, terdakwa korupsi dengan kerugian negara lebih besar dari Rp 3 miliar hingga Rp 3,25 miliar memiliki rata-rata pidana penjara lebih rendah daripada mereka yang merugikan keuangan negara Rp 0-Rp 250 juta. Praktik disparitas pemidanaan seperti ini menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku juga korban. Masyarakat Indonesia pun menjadi korban kejahatan korupsi.
Selain itu, dari 361 terdakwa yang dituntut dengan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor dan memiliki kewenangan (kedudukan atau jabatan) serta menunjukkan kategori terdakwa yang merugikan negara terpaut jauh berbeda, justru memiliki rata-rata putusan pidana penjara nyaris sama. Perkara korupsi yang merugikan negara Rp 0-Rp 250 juta memiliki rata-rata pidana penjara yang tak jauh berbeda dengan kerugian negara lebih dari Rp 3,25 miliar-Rp 3,5 miliar.
Rata-rata pidana penjara tertinggi dimiliki terdakwa korupsi dengan kerugian negara lebih besar dari Rp 4,75 miliar hingga Rp 5 miliar, yakni selama 60 bulan. Ironisnya, perkara dengan kerugian negara lebih tinggi dari ini rata-rata pidana penjaranya jauh di bawahnya, yakni sekitar 30 bulan penjara.
Disparitas putusan dengan model seperti ini tentu dapat melukai rasa keadilan masyarakat. Tak hanya itu, hal ini juga menimbulkan pertanyaan, apakah hakim memang sebebas itu mengetuk palunya? Apakah tak ada rambu-rambu hakim?
Sejumlah penyebab munculnya disparitas pemidanaan perkara korupsi adalah, pertama, pidana minimum di sejumlah pasal yang berbeda sehingga hakim memiliki kebebasan untuk menggunakan pasal yang diinginkan. Kedua, latar belakang pendidikan hakim yang memengaruhi pemahaman terhadap undang-undang. Ketiga, perbedaan pandangan masyarakat atau nilai terhadap tindak pidana berbeda di setiap wilayah. Terakhir, tak adanya pedoman untuk pemberian putusan.
Pedoman hakim
Hakim memang punya diskresi menjatuhkan hukuman, tetapi seharusnya juga memiliki pedoman jelas tanpa membatasi kemerdekaan hakim itu sendiri. Hal ini bukan tanpa tujuan, melainkan demi putusan yang lebih bisa dipertanggungjawabkan dan terhindar dari praktik korupsi. Jangan sampai palu hakim sebagai harapan terakhir penanganan kasus korupsi justru mencederai keadilan.
Diskresi hakim memberikan putusan seyogianya dapat dipertanggungjawabkan. Cassia Spohn, ahli kriminologi dari Arizona State University, Amerika Serikat, menyatakan hakim harus punya pertimbangan jelas saat menentukan besaran angka hukuman. Hal itu dilakukan jika ada disparitas menjadi beralasan (warranted disparity).
Pedoman pemidanaan untuk mencegah disparitas sebenarnya dimiliki sejumlah lembaga penegak hukum. Pada 2009, Mahkamah Agung mengeluarkan surat edaran pembinaan personel hakim. Salah satu yang tercantum adalah memerintahkan para ketua pengadilan tingkat banding mencegah disparitas putusan.
Setahun berikutnya, Kejaksaan Agung menerbitkan surat edaran tentang pedoman tuntutan perkara tindak pidana korupsi. Tujuannya, mencegah dan meminimalkan disparitas tuntutan pidana. KPK bahkan punya sistem kerja lebih ajek saat penuntutan. Setiap perkara korupsi ditangani satu tim yang setiap anggotanya berhak mengajukan angka besaran tuntutan dan akan dilihat rata-ratanya. Mereka juga menilik balik dari kasus-kasus serupa terdahulu untuk melihat faktor pemberat dan peringan.
Tren hukuman
Dari tren vonis korupsi yang dilansir Indonesia Corruption Watch diketahui sebagian besar terdakwa korupsi divonis ringan, yakni kurang dari satu tahun hingga empat tahun. Bahkan, pada 2017, sebanyak 81,61 persen koruptor divonis ringan. Selama 2013-2017, koruptor yang divonis berat lebih besar dari 10 tahun hanya hitungan jari dua tangan.
Selain persoalan penjatuhan hukuman yang masih relatif ringan, saat ini penegak hukum belum berorientasi pada pengembalian kerugian negara. Kajian ICW 2017 juga menunjukkan kerugian negara akibat korupsi sampai Rp 29,4 triliun, sedangkan uang pengganti yang diputuskan hakim hanya Rp 1,4 triliun. Ini berarti hanya 4,91 persen dari total kerugian negara akibat korupsi (Kompas, 4/5/2018).
Data dari Indexa menunjukkan sepanjang 2011-2015 ada ketimpangan kerugian negara dengan uang pengganti. Sebanyak 642 terpidana atau sekitar 92 persen tidak mengembalikan kerugian negara. Angka yang timpang ini menunjukkan pemberantasan korupsi tak hanya soal memburu banyaknya jumlah pelaku, tetapi juga keberhasilan mengembalikan uang hasil korupsi tersebut.