Kedewasaan Berpolitik Semakin Lemah, Masyarakat Terbelah
Oleh
Antony Lee
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kehidupan politik di Indonesia semakin diwarnai melemahnya kedewasaan berpolitik yang terlihat dari oportunisme elite, munculnya perang opini yang liar dan cenderung memecah belah bangsa, serta fanatisme berlebih masyarakat. Partai politik dan elitenya punya andil besar untuk mencegah kondisi ini memburuk hingga menyebabkan pembelahan di masyarakat yang membuat demokrasi tak berjalan.
Oportunisme elite itu bisa disaksikan secara gamblang oleh masyarakat dalam proses pembentukan koalisi politik serta mudahnya politisi berpindah partai politik. Selain itu, tidak jarang kontestasi politik juga diikuti fitnah dan disinformasi bernuansa pembunuhan karakter yang ditujukan kepada institusi maupun individu, baik pemerintah maupun oposisi. Perang opini di media sosial juga cenderung memecah belah bangsa.
Elite yang seharusnya bisa mengingatkan masyarakat, bahkan juga terlibat dalam perdebatan tidak substansial yang hanya berkutat pada pernyataan sarkastik. Di akar rumput, masyarakat cenderung bersikap fanatik berlebihan kepada sosok politik yang diidolakan, sehingga mereka rentan dimanipulasi, serta menyebabkan tumpulnya sikap kritis.
“Itu merupakan tanda melemahnya kehidupan demokrasi yang sehat. Ini bisa membahayakan karena rentan memunculkan pembelahan masyarakat. Demokrasi sulit menemukan bentuk terbaiknya dalam masyarakat yang terbelah dan kehilangan kepercayaan satu sama lain,” kata Firman Noor dalam Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Politik dan Pemerintahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta, Rabu (12/12/2018).
Firman yang dikukuhkan sebagai profesor riset ke-127 LIPI menjadi profesor riset termuda di LIPI di usia 42 tahun. Dalam orasi ilmiahnya, Firman mengusung tema “Partai Politik Sebagai Problem Demokrasi di Indonesia Era Reformasi: Kajian Penyebab dan Solusinya”.
Menurut Firman, dalam kondisi ideal, para elite itu seyogianya menjadi negarawan. Dengan begitu mereka berperilaku dan bersikap untuk negara, bukan sekadar untuk mencapai kepentingan parsial kelompok, partai, apalagi untuk dirinya sendiri. Elite seharusnya memunculkan semangat sebagai satu bangsa yang punya visi, misi, dan kepentingan yang sama. Kondisi ini memungkinkan pertarungan antarelite berlangsung dalam konteks memperbaiki negara, bukan untuk sekadar mendapat atau membagikan kekuasaan.
Modernisasi parpol
Mundurnya kedewasaan berpolitik ini tidak terlepas posisi partai yang justru kini menjadi persoalan demokrasi di Indonesia. Untuk mengatasi hal itu, Firman mendorong penguatan pelembagaan partai, perbaikan aturan main, serta modernisasi parpol. Selain itu, juga perlu dilakukan dengan membangun kesadaran dan pola pikir masyarakat untuk menjalankan kehidupan politik berdasarkan nilai demokrasi, seperti kesederajatan, partisipasi, kebebasan, penghargaan terhadap perbedaan, dan kepatuhan pada hukum.
Peneliti politik senior LIPI Syamsuddin Haris menuturkan ada banyak faktor yang mempengaruhi melemahnya kedewasaan berpolitik di Indonesia, salah satunya, tidak adanya komitmen elite politik, khususnya pimpinan partai politik untuk sungguh-sungguh berubah.
“Menjadi tugas elite politik dan pemimpin untuk mendidik bangsa ini dengan mengedepankan kerja sama, saling membangun optimisme, bukan justru saling menciptakan kebencian seperti kita lihat sekarang ini,” katanya.