JAKARTA, KOMPAS – Revisi batas usia minimal perempuan untuk menikah bisa dilakukan lebih cepat meskipun Mahkamah Konstitusi memberi batasan hingga tiga tahun bagi pembentuk undang-undang untuk menetapkan usia minimal perkawinan bagi perempuan. Angka tiga tahun yang ditetapkan MK merupakan angka moderat, yang bisa saja ditempuh dengan lebih cepat bilamana ada persetujuan dari pembentuk undang-undang.
Namun, bila dalam jangka waktu 3 tahun itu tidak segera ada perubahan ketentuan, MK menyebutkan agar usia minimal perkawinan bagi perempuan itu tidak bertentangan dengan Undang-undang Perlindungan Anak, yakni tidak di bawah 18 tahun. Sebab, yang dikategorikan anak oleh UU Perlindungan Anak ialah mereka yang berusia di bawah 18 tahun.
“Tiga tahun itu angka moderat, sebab itu pembatasan waktu yang merupakan bagian dari limitative constitutional. Memang ketentuan di dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan itu tetap berlaku sepanjang belum ada perubahan ketentuan dari pembuat UU. Namun, bukan berarti sebelum tiga tahun itu tidak mungkin ada perubahan. Tiga tahun itu batas maksimal,” kata Fajar Laksono Soeroso, Juru Bicara MK, Jumat (14/12/2018) di Jakarta.
MK di dalam putusannya juga menerangkan, penentuan batas usia minimal adalah bagian dari kebijakan hukum terbuka dari pembuat undang-undang. Oleh karenanya, bila telah MK menetapkan batas usia minimal perkawinan bagi perempuan, hal itu dikhawatirkan akan seterusnya mengunci pembuat UU. Artinya, pembuat UU akan kesulitan mengubah batasan usia itu lantaran telah ditetapkan MK. Di satu sisi, batasan usia perkawinan itu bisa tidak tertutup kemungkinan untuk berubah seiring dengan perkembangan waktu.
Terkait batas waktu tiga tahun tersebut, Anggara, kuasa hukum pemohon uji materi UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan, mengatakan, hal itu membuat UU Perkawinan yang telah dinyatakan inkonstitusional masih berlaku. Dengan demikian, posisi anak dan perempuan dalam perkawinan masih lemah lantaran UU Perkawinan itu masih akan berlaku sebelum ada revisi UU Perkawinan.
“Artinya masih ada kemungkinan perempuan menikah di usia 16 tahun, kendati ketentuan itu telah dinyatakan inkonstitusional,” kata Anggara, yang juga Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Dorong Perppu
Sebagai solusinya, pihak pemohon akan segera mendorong Presiden Joko Widodo agar mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Pembentukan Perppu itu sebelumnya juga diusulkan kepada presiden. Namun, belum ada tanggapan karena harus ada kondisi yang mendesak atau kegentingan sebagai alasan dibentuknya Perppu.
“MK sebenarnya telah menyebutkan bahwa kondisi perkawinan anak sudah dalam kondisi darurat. Ini yang bicara mahkamah dalam putusannya, sehingga akan kami bawa kepada presiden sebagai dasar pembentukan Perppu guna merevisi batasan usia minimal perkawinan bagi perempuan,” kata Anggara.
Draft Perppu tentang perkawinan anak itu pun pernah disampaikan oleh ICJR dan Koalisi Perempuan Indonesia kepada presiden.
Fajar mengatakan, batas waktu tiga tahun itu untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum, setelah MK menyatakan Pasal 7 Ayat (1) UU Perkawinan itu inkonstitusional. “UU itu masih dinyatakan berlaku supaya tidak ada kekosongan hukum. Sebab MK juga tidak bisa memutuskan batas usia minimal yang menjadi kewenangan pembuat UU,” katanya.
Terkait dengan usulan pembentukan Perppu sebagai tindak lanjut putusan MK, menurut Fajar, hal itu dimungkinkan karena pembentukan Perppu akan lebih cepat dilakukan daripada melakukan revisi UU. Sebab, putusan MK setara dengan UU dan untuk melakukan perubahan bisa melalui revisi UU atau pembentukan Perppu yang setingkat dengan UU.
“Kalau memang presiden menyatakan ini kondisi darurat, silahkan saja. Karena prosesnya untuk pembentukan Perppu itu harus ada persetujuan dari DPR. Akan tetapi, intinya kan jelas, MK tidak setuju dengan usia minimal 16 tahun itu, sedangkan MK juga tidak mau mengunci fleksibilitas penentuan batas usia perkawinan bagi perempuan, dan supaya harmonis dengan UU Perlindungan Anak,” kata Fajar.