Loloskan Hakim Nonkarier, Komisi Yudisial Digugat ke PTUN
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seleksi calon hakim agung oleh Komisi Yudisial yang meloloskan peserta dari kalangan nonkarier digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Gugatan dilayangkan oleh hakim tinggi di Pengadilan Tinggi Bangka Belitung, Binsar Gultom, yang berpandangan seleksi hakim agung dari jalur nonkarier itu menyalahi putusan Mahkamah Konstitusi dan tidak berpedoman pada kebutuhan Mahkamah Agung sebagai pengguna hasil seleksi.
Gugatan ke PTUN Jakarta itu dijadwalkan untuk dibacakan pada Senin (17/12/2018) oleh penggugat atau kuasa hukumnya. Dalam gugatannya, Binsar diwakili kuasa hukumnya, Irmanputra Sidin dan kawan-kawan. Obyek gugatan setebal 32 halaman itu ialah dua keputusan yang dikeluarkan oleh KY, yakni keputusan Pengumuman Hasil Seleksi Administrasi Calon Hakim Agung (CHA) Nomor 07/PENG/PIM/RH.01.02/09/2018 tertanggal 13 September 2018 serta keputusan Pengumuman Hasil Seleksi Tahap II (Kualitas) CHA Nomor 07/PENG/PIM/RH.01.03/10/2018 tertanggal 9 Oktober 2018.
Irman mengatakan, dua keputusan pengumuman CHA itu melanggar Pasal 7 Huruf b Butir 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang MA dan Putusan MK Nomor 53/PUU-XIV/2016. Ia menyebut MK dalam putusannya meminta KY agar dalam melakukan seleksi hakim agung harus berpedoman pada kebutuhan MA selaku pengguna.
”Itulah makna UU MA pasca-putusan MK. Kalau MA butuh warna merah, maka peserta seleksinya warna merah, bukan warna kuning atau warna lainnya,” katanya, Minggu, di Jakarta.
Terkait dengan kebutuhan hakim agung di MA itu, Wakil Ketua MA Nonyudisial mengirim surat Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pengisian Kekosongan Jabatan Hakim Agung, yang meminta KY melakukan seleksi hakim agung guna mengisi kekosongan 8 posisi hakim agung. Rinciannya, 1 orang di kamar pidana, 1 orang di kamar agama, 2 orang di kamar militer, 3 orang di kamar perdata, dan 1 orang untuk kamar Tata Usaha Negara (TUN) khusus pajak. Untuk posisi hakim agung yang lowong itu, MA secara eksplisit meminta CHA berasal dari jalur karier, kecuali untuk posisi hakim agung di bidang pajak yang diminta berasal dari nonkarier.
Namun, dalam seleksi yang dilakukan KY, lembaga itu membuka kesempatan seleksi bukan hanya bagi peserta dari kalangan hakim karier, melainkan juga nonkarier. Peserta CHA yang lolos seleksi administrasi itu namanya diumumkan dalam Keputusan Pengumuman Hasil Seleksi Administrasi tanggal 13 September 2018. Keputusan itu dinilai tidak berpedoman pada surat MA yang menyebutkan hakim agung yang dibutuhkan ialah hakim karier.
Adapun yang menjadi landasan bagi MA untuk meminta hakim karier ialah adanya putusan MK Nomor 53 Tahun 2016. Petikan pertimbangan putusan MK yang dijadikan dasar itu berbunyi ”Kebutuhan dimaksud harus memedomani daftar kebutuhan dari Mahkamah Agung. Bagaimanapun, dalam posisi sebagai pemakai (user) hakim agung, Mahkamah Agung tentu lebih memahami setiap kebutuhan dalam pengisian hakim agung terutama dari jalur nonkarier”.
Atas dasar itu, penggugat menilai peserta CHA dari jalur nonakarier seharusnya tidak bisa diloloskan dari seleksi administrasi karena itu bertentangan dengan kebutuhan hakim agung di MA. Kelolosan sebagian peserta dari jalur nonkarier dalam tahapan selanjutnya, yakni seleksi kualitas, juga harus digugurkan karena bertentangan dengan kebutuhan tersebut.
”Pengumuman hasil seleksi administrasi dan kualitas calon hakim agung itu cacat hukum sehingga harus dibatalkan dan KY membuat pengumuman baru sesuai permintaan MA serta berdasarkan kebutuhan kamar di MA,” kata Binsar.
Binsar selaku penggugat adalah juga peserta seleksi CHA di KY. Namun, ia tidak lolos seleksi kualitas. Tahun 2016, ia bersama Lilik Mulyadi menjadi pemohon atas uji materi UU MA di MK yang dikabulkan sebagian dalam putusan MK Nomor 53/PUU-XIV/2016. Dalam gugatannya ke PTUN Jakarta, ia meminta majelis hakim menghentikan proses seleksi hakim agung tahap berikutnya sampai ada putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap.
”Basis putusan MA itu ada di MA, bukan pada KY. Di mana-mana user diperhatikan. Kalau yang masuk adalah peserta yang tidak dibutuhkan oleh MA, itu akan merugikan peserta itu sendiri. Binsar selaku penggugat dalam hal ini bukan semata-mata hakim karier yang ikut seleksi, melainkan karena dia juga pemohon judicial review (uji materi) di MK. Penggugat memiliki kepentingan agar putusan MK ditegakkan,” kata Irman.
Diatur UU
Ketua KY Jaja Ahmad Jayus mengatakan, pihaknya belum mengetahui detail gugatan yang diajukan terhadap KY. Namun, pada prinsipnya hakim dari jalur nonkarier dibolehkan menurut UU. Dan, sepanjang ketentuan itu belum dicabut oleh MK, KY selaku pelaksana UU akan tetap melaksanakan ketentuan itu. Ia mempersilakan gugatan itu diajukan penggugat sebagai bagian dari proses negara hukum.
Terkait dengan putusan MK yang dijadikan dasar permintaan MA merekrut hakim karier, menurut Jaja, keterangan itu terdapat di dalam pertimbangan putusan MK, tetapi tidak tercantum di dalam diktum atau amar putusan MK. KY berpandangan yang mengikat secara hukum ialah bunyi di dalam diktum.
”Ada beberapa kasus salah ketik, misalnya di dalam pertimbangan ada penyebutan Rp 4 triliun, sedangkan di amar putusannya Rp 4 miliar, yang mengikat, kan, diktumnya, atau amar putusannya, bukan pertimbangannya,” kata Jaja.
Deputi Direktur Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar berpendapat, gugatan itu tidak tepat dilakukan oleh hakim. Gugatan itu sangat ditentukan ada tidaknya kedudukan hukum (legal standing) penggugat.
”Gugatan ini merendahkan martabat hakim sendiri, sekaan-akan ada keinginan dari hakim untuk berebut jabatan. Padahal, posisi marwah hakim sendiri lebih tinggi dari yang dibayangkan masyarakat,” ujarnya. (REK)