JAKARTA, KOMPAS — Pemimpin tiga lembaga negara kembali mengingatkan elite dan pendukung calon presiden-wakil presiden agar menahan diri. Saling menyerang antarkubu ditambah kabar bohong yang marak terjadi selama tiga bulan masa kampanye Pemilu 2019 hanya menciptakan ketidaknyamanan publik.
Para pemimpin ketiga lembaga negara itu adalah Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Zulkifli Hasan, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Soesatyo, dan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Oesman Sapta Odang. Mereka menyampaikan hal tersebut saat diskusi Refleksi Tahun 2018, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (18/12/2018).
”Menuju akhir tahun, suasana politik yang penuh keragaman, untuk tidak mengatakan suasana saling serang dan mengerikan di antara kedua kelompok, memenuhi ruang udara politik kita yang sebetulnya membuat rakyat tidak nyaman,” ujar Bambang.
Pada tahun 2019, ketika intensitas kampanye kian meningkat menjelang pemilu 17 April 2019, Bambang berharap pendukung dari setiap calon menahan diri. Pendukung pun diharapkan lebih banyak memaparkan visi, misi, dan program dari calon serta mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang teduh.
”Dengan demikian, masyarakat memiliki harapan,” ujar Bambang.
Pimpinan DPR juga mendorong TNI-Polri dan Badan Intelijen Negara (BIN) mengantisipasi kemungkinan terburuk yang diakibatkan manuver politik menjelang pemilu.
”Manuver politik seharusnya tidak sampai mengorbankan masyarakat, apalagi mendorong adu domba masyarakat,” lanjutnya.
Manuver politik seharusnya tidak sampai mengorbankan masyarakat, apalagi mendorong adu domba masyarakat.
Zulkifli menjelaskan, pemilihan langsung presiden-wakil presiden oleh rakyat merupakan pilihan yang sudah disepakati saat Reformasi. Ketika ada perbedaan sikap dan pilihan yang akan lahir di setiap pemilihan, perbedaan itu hendaknya tidak sampai memecah belah bangsa. Sebab, siapa pun yang terpilih, tujuan berbangsa dan bernegara akan tetap sama.
”Oleh karena itu, MPR selalu mengampanyekan agar pemilu ini menjadi pemilu yang penuh persahabatan, damai, dan menggembirakan. Dengan demikian, rakyat menjadi adem,” katanya.
Selain isu saling serang di antara kubu capres-cawapres, Oesman Sapta Odang mengingatkan maraknya kabar bohong di media sosial. Ironisnya, kabar bohong ini kerap diyakini sebagai sebuah kebenaran oleh publik. Guna mengatasinya, menjadi tugas media massa untuk menangkal kabar-kabar bohong tersebut.
Media sosial
Saling serang di antara kedua kubu dan maraknya kabar bohong itu bisa dengan mudah terlihat di media sosial. Mayoritas dilakukan pendukung setiap calon, tetapi tidak sedikit pula yang ikut dilontarkan oleh elite partai pendukung calon.
Berdasarkan pantauan Yayasan SatuDunia terhadap akun media sosial milik capres-cawapres, partai pengusung, sejumlah elite, dan tim suksesnya, sejak masa kampanye Pemilu 2019 dimulai 23 September 2018, akun milik elite partai tidak hanya menyerang calon lain, tetapi juga kerap mengamplifikasi kabar bohong yang dilontarkan akun pendukung calon.
”Akun elite tidak menyampaikan kabar bohong, tetapi mereka menyambut kabar bohong dari akun lain dan mengamplifikasinya,” ujar Direktur Yayasan SatuDunia Firdaus Cahyadi.
Akun elite tidak menyampaikan kabar bohong, tetapi mereka menyambut kabar bohong dari akun lain dan mengamplifikasinya.
Serangan dari akun resmi milik calon dan tim suksesnya itu pun, dinilai Firdaus, sering kali tidak menyentuh visi, misi, dan program calon lain. Begitu pula kampanye calon dari akun-akun resmi tersebut masih jauh dari kampanye yang substantif.
”Kalaupun ada program yang dilontarkan, sifatnya hanya di permukaan, tidak mendalam dijelaskan bagaimana program tersebut bisa direalisasikan oleh calon,” ucapnya.
Dengan realitas yang ada di media sosial itu, SatuDunia berkesimpulan, kedua calon dan timnya belum menghadirkan pendidikan politik dalam kampanyenya di media sosial. Padahal, dengan semakin bertambahnya pengguna media sosial, media sosial bisa dimanfaatkan calon untuk meyakinkan pemilih dengan lebih intens mengampanyekan visi, misi, dan program mereka.