Bawaslu Tangani Dua Laporan Oesman Sapta Terkait Pencalonan DPD
Oleh
Antony Lee
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Badan Pengawas Pemilu menindaklanjuti dua laporan yang diajukan kuasa hukum Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang, terkait pencalonannya dalam pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah pada Pemilu 2019. Kendati begitu, Komisi Pemilihan Umum tetap berpegang pada batas akhir penyerahan surat pengunduran diri dari kepengurusan partai politik pada Jumat (21/12/2018).
Satu laporan yang diajukan oleh kuasa hukum Oesman Sapta, yakni Doddy Abdul Kadir terkait dengan dugaan pelanggaran administrasi. Dalam laporan itu, KPU dinilai mengeluarkan surat tertanggal 8 Desember 2018 terkait pengunduran diri dari kepengurusan parpol bagi calon DPD 2019. Pelapor menilai surat itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung tertanggal 25 Oktober 2018 dan putusan PTUN Jakarta tertanggal 14 November 2018.
Adapun, dalam surat itu, KPU menyatakan Oesman Sapta diberi kesempatan untuk menyerahkan surat pemberhentian dari kepengurusan parpol hingga batas waktu validasi surat suara DPD pada 21 Desember. Jika hal ini tidak dipenuhi maka, KPU tetap tidak akan memasukkan Osman Sapta dalam DCT DPD.
“Bawaslu akan memeriksa pendahuluan untuk mengetahui apakah nantinya bisa dilanjut ke tahap pemeriksaan pokok perkara. Sementara ini kami agendakan untuk putusan pendahuluan ini sekitar 26 Desember,” kata Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan dalam keterangan pers di Gedung Bawaslu di Jakarta, Kamis (20/12/2018).
Laporan kedua diajukan oleh Herman Kadir, kuasa hukum Oesman Sapta terkait dugaan pelanggaran pidana pemilu. Abhan menuturkan, pelapor menyampaikan menerima surat dari Bawaslu tertanggal 10 Desember 2018 yang menyatakan KPU RI wajib menindaklanjuti putusan PTUN Jakarta karena putusan itu final dan mengikat. Sementara itu, pada 13 Desember, Oesman Sapta menerima surat dari KPU perihal pengunduran diri dari kepengurusan parpol bagi bakal calon anggota DPD.
Karena hingga tanggal 18 Desember 2018, KPU dianggap tidak melaksanakan surat putusan Bawaslu, pelapor berargumen, maka KPU dinilai melanggar Pasal 518 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal itu menyatakan setiap anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu dalam pelaksanaan verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, dipidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta.
Abhan menyampaikan Bawaslu punya waktu 14 hari kerja sejak pelaporan tersebut diregistrasi, yakni pada 20 Desember 2018.
“Kami menghormati hak KPU atas respons dari putusan MA dan PTUN. Kami juga ada kewajiban menindaklanjuti dua laporan ini. Apakah terbukti atau tidak, nanti diikuti saja,” kata Abhan.
Kami menghormati hak KPU atas respons dari putusan MA dan PTUN. Kami juga ada kewajiban menindaklanjuti dua laporan ini. Apakah terbukti atau tidak, nanti diikuti saja
Menanggapi dua laporan tersebut, anggota KPU Pramono Ubaid Tanthowi menuturkan, KPU akan mempelajari pelaporan pelanggaran administrasi dan pidana yang disampaikan pelapor ke Bawaslu. Menurut dia, KPU tidak akan menganggap remeh pelaporan itu dan akan menyiapkan jawaban, bukti-bukti, serta keterangan ahli.
“Kami tidak menganggap ini sesuatu yang remeh, tetapi bagian dari tanggung jawab kami ketika memutuskan memberi peluang kepada pelapor untuk masuk DCT, tetapi harus menyertakan pemberhentian tetap dari kepengurusan partai yang bersangkutan,” kata Pramono.
Dia juga menegaskan, batas akhir penyerahan surat pengunduran diri dari kepengurusan parpol bagi Oesman Sapta jika ingin masuk DCT DPD tetap pada Jumat (21/12/2018) jam kerja.